Memilih partai di Indonesia saat ini saya akui cukup sulit kriterianya. Kalau ditanya kenapa memilih parpol itu, sudah pasti saya tidak bisa menjawabnya. Setidaknya, saya tidak bisa menjawab secara ilmiah, apalagi pakai analisa politik yang canggih. Yang pasti, perasaan saya tidak mungkin bisa memilih bergabung dengan Golkar atau PDIP. Mungkin karena darah Masyumi yang mengalir di tubuh saya masih terlalu kental, masih terlalu puritan :(
Jika melihat sejarah keikutsertaan saya pada pemilu di Indonesia, 3 kali pemilu di jaman Orde Baru 1987, 1992 dan 1997, sejujurnya saya katakan, saya selalu memilih PPP. Tahun 1999 saya memilih partai saya sendiri, Partai Bulan Bintang (PBB). Tahun 2004 saya memilih PKS untuk pemilu legislatif dan Amien Rais untuk Capres tahap 1, dan golput untuk Capres tahap 2. Dari sejarah pilihan politik saya tersebut, para ahli mungkin bisa menganalisa, corak politik saya kira-kira seperti apa :)
Pada saat saya bergabung dengan PBB pada tahun 1999, sebenarnya saya punya pilihan untuk bergabung juga dengan PAN. Saya bahkan orang yang pertama membuat website untuk PAN dengan alamat
http://www.amanat.org atas ijin dari Amien Rais pada tahun 1998.
Saat itu, teman-teman saya terbelah ke dalam 2 partai itu, sebagian ke PAN sebagian lagi ke PBB. Darah Muhammadiyah saya mengajak ke PAN, tetapi darah Masyumi saya mengajak ke PBB. Akhirnya saya memilih bergabung ke PBB karena lebih banyak teman di partai itu.
Sejujurnya, saya tidaklah pernah terlalu serius dalam berpartai. Maksud saya, partai lebih untuk menyalurkan gairah politik dan bersilaturahmi saja, tidak pernah tergoda dan bermimpi untuk harus mendapatkan kekuasaan. Saya ingin terlibat tetapi saya lebih suka tampil di level ke-2, level yang tidak dilihat oleh orang.
Saya selalu teringat nasehat abang saya, Loode Masihu Kamaluddin, saat mengatakan kepada saya, "Kamu harus kaya secara materi terlebih dulu sebelum terjun ke politik, agar kamu tidak bisa dibeli." Jadi, karena saya masih belum memiliki fondasi ekonomi yang kuat, keterlibatan saya dalam lingkungan politik lebih sebagai upaya untuk menjaga spirit saja, agar tidak dilalaikan oleh urusan ekonomi.
Saya segera keluar dari PBB ketika terjadi keributan antara Fadli Zon dan Yusril Ihza Mahendra, kira-kira beberapa bulan setelah pemilu 1999 usai. Pasalnya sederhana, Yusril tidak bisa mempertanggungjawabkan dana politik yang diberikan oleh BJ Habibie kepada PBB. Saya menjadi malu; malu sekali. Bagaimana bisa, partai pewaris Masyumi berperkara dalam soal uang seperti itu? Bagaimana mau meniru kesederhanaan M. Natsir, kalau tokohnya sangat mudah tergoda oleh materi seperti itu?
Selepas dari PBB, saya lebih sibuk mengurusi bisnis sendiri. Aktifitas politik saya banyak terlibat di lapis ke-2 bersama M Yunus (sekpri Amien Rais saat itu), Nasrullah (sekpri Fuad Bawazier yang sekarang menjadi staf khusus Mendiknas Bambang Sudibyo) dan Ahmad Muzani (saat itu aktif di CPDS dan sekarang Sekjen Partai Gerindra), mendukung Amien Rais for President 2004.
Pada musim parpol 2009 ini, kembali saya diajak masuk ke partai politik oleh Ahmad Muzani. Ia bersama Fadli Zon beserta sejumlah nama lainnya mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya. Yang paling saya suka dari partai ini adalah namanya. Ada kata-kata Indonesia Raya yang membuat hati saya tersentuh. Ini sejalan dengan kritik saya selama beberapa tahun terakhir ini di berbagai milis, bahwa politisi di negeri ini sudah sangat sedikit yang memiliki kesadaran untuk membangun kejayaan Indonesia Raya.
Memang partai ini cukup sensitif, terutama karena ada dua nama yang konroversial di mata kawan-kawan saya yang aktif di LSM, yaitu Muchdi PR dan Prabowo Subianto. Tapi saya pikir, adakah partai yang bersih dari tokoh-tokoh yang tidak terlibat kasus di republik ini? Saya lebih fokus pada spirit yang dibawa partai ini, yaitu untuk membangun kembali kejayaan Indonesia. Cita-cita luhur partai ini bisa saya terima dan sejalan dengan saya yang pernah punya keinginan untuk membuat Yayasan Kesadaran Indonesia sejak tahun 1996. Itu saja.
Memasuki usia yang ke-40 pada tahun ini, saya pikir saatnya saya kembali menekuni dunia politik sebagai sarana untuk mengabdi kepada masyarakat untuk memakmurkan rakyat. Saya katakan kepada istri saya, "Sudah cukup materi yang kita peroleh, saatnya saya berbakti kepada masyarakat."
Ya, memakmurkan rakyat adalah janji Masyumi dulu. Di bawah Masyumi rakyat hidup makmur ... demikian salah satu bait lagu mars Masyumi yang sering dinyanyikan almarhum ayah saya dengan penuh semangat. Janji ayah dan kakek saya kepada republik ini harus saya lanjutkan. Saya tidak boleh berpangku tangan berdiam diri menikmati materi yang aku peroleh. Saya harus segera terlibat dalam upaya-upaya untuk memakmurkan rakyat Indonesia sekarang ini.
Dan saya teringat pada bait pertama lagu mars Masyumi tersebut:
Bismillah sudah mari memilih ...
Ya, memasuki usia yang ke-40 ini, bismillah sudah saya memilih masuk Partai Gerindra untuk kejayaan Indonesia Raya!
:)
Catatan:
Saya akan maju menjadi caleg daerah pemilihan IX Jawa Tengah, daerah kelahiran saya Brebes-Tegal.