Sunday, January 28, 2007

PLN Memanipulasi Biaya?

Pada 18 Januari 2007 saya mendatangi sendiri sebuah kantor pelayanan PLN di Jakarta Selatan untuk mengajukan penambahan daya dari 3500VA ke 5500VA. Sebelumnya, saya selalu meminta bantuan orang lain untuk berurusan dengan PLN. Tapi kali ini, karena saya ingin mengetahui secara persis manajemen PLN, maka saya putuskan untuk mendaftar sendiri tanpa bantuan pihak ketiga. Klisenya, sebagai warga negara yang baik, saya ingin melihat republik ini semakin tertib.

Setelah mengisi formulir dan lampiran yang disyaratkan, saya mendapat selembar kertas bukti pendaftaran. Dalam bukti itu disebutkan bahwa pada tanggal 24 Januari PLN akan memberikan jawaban. Ketika saya tanyakan maksudnya memberikan jawaban, dijawab bahwa berdasarkan permohonan tersebut PLN akan melakukan survei. Jika disetujui, maka sebagai pelanggan saya diminta membayar sejumlah uang sesuai ketentuan, lalu menunggu 10 hari untuk pelaksanaan pekerjaannya.

Karena sampai dengan tanggal 24 Januari belum juga disurvei, saya kembali mendatangi kantor PLN. Baru kemudian PLN mengirim orang untuk mensurvei hari itu juga. Setelah survei tersebut saya diminta membayar sejumlah uang sesuai fotokopi tabel tarip yang mereka berikan. Yang harus dibayar adalah biaya pemasangan dan uang jaminan toevoer. Sesuai tabel, biaya pemasangan adalah Rp 1.321.500 dan uang jaminan toevoer sebesar Rp 650.000.

Saya lalu teringat, dua tahun lalu ketika menambah daya dari 2200 ke 3500 saya sudah membayar pula uang jaminan toevoer sebesar Rp 400.000. Namanya uang jaminan, logikanya uang tersebut harus dikembalikan. Ketika saya persoalkan masalah ini, akhirnya petugas bersedia mengurangi biaya jaminan toevoer, sehingga saya hanya membayar Rp 250.000. Lalu saya membayar uang sejumlah Rp 1.571.500 untuk biaya pemasangan dan biaya jaminan toevoer. Di luar biaya resmi ini, saya masih harus membayar Rp 250.000 agar instalasinya bisa dikerjakan hari itu juga.

Ketika saya cek kwitansinya, itu bukan kwitansi resmi PLN. Kwitansi tanpa logo atau nama perusahaan apapun hanya memuat stempel perusahaan PT XXX, yang katanya mitra PLN. Lalu saya memaksa, bahwa saya harus menerima kwitansi resmi dari PLN, saya tidak mau menerima kwitansi dari PT XXX. Kemudian saya dijanjikan esok harinya. Esoknya saya diberi kwitansi resmi dari PLN dengan rincian biaya pemasangan Rp 700.000 dan uang Jaminan Langganan Pola A sebesar Rp 226.000. Selisih uang antara kwitansi PT XXX dan kwitansi PT PLN kemudian dikembalikan lagi kepada saya Rp 300.000, tidak sepenuhnya sesuai selisih yang seharusnya ada, yaitu Rp 395.500.

Ada dua permasalahan penting di sini, pertama, apa bedanya jaminan langganan ini dengan jaminan toevoer? Tidak ada petugas yang bisa menjelaskan. Buat apa sebenarnya uang jaminan toevoer itu? Kenapa bisa ditawar padahal sudah ada tabelnya dan sebelumnya dibilang itu tarip resmi PLN? Bagaimana dengan masyarakat lain yang mungkin tidak sempat mengurus sendiri atau mengurus sendiri tapi tidak tahu dan tidak bisa protes?

Kedua, jika memang tarip dalam tabel adalah tarip resmi, kenapa selisih antara biaya pemasangan sesuai tabel (Rp 1.321.500) dengan kwitansi resmi dari PLN (Rp 700.000) kemudian dikembalikan kepada saya? Jika ini tidak dapat dijelaskan, dapat dikatakan di sini, bahwa PLN telah melakukan penipuan atau manipulasi biaya kepada masyarakat.

Atas peristiwa itu, saya menghimbau kepada Direksi PLN atau Kementerian BUMN untuk segera memperhatikan biaya-biaya yang tidak jelas ini. Masyarakat dibebani biaya yang cukup tinggi tapi tidak jelas aturan mainnya, terutama (1) jaminan toevoer yang larinya kepada pihak ketiga; buat apa masyarakat membayar uang jaminan dua kali, kepada PLN sebagai Jaminan Langganan Pola A dan kepada pihak ketiga sebagai Jaminan Toevoer? Dan (2) selisih biaya pemasangan antara tabel resmi PLN dengan kwitansi resmi PLN.

Saya mengusulkan, ketika masyarakat sebagai pelanggan mendatangi kantor pelayanan PLN, maka yang melayani seharusnya petugas-petugas resmi dari PLN, bukan petugas dari pihak ketiga seperti saya alami, petugas dari PT XXX. Jangan sampai pula terjadi, karena ini lebih parah, sebenarnya itu petugas resmi PLN tetapi mereka merangkap bekerja sebagai pegawai PT XXX, karena mereka mengeluarkan kwitansi atas nama PT XXX padahal mereka duduk di kursi petugas pelayanan PLN.

Bahwa kemudian PLN mau memberikan pekerjaan pemasangannya kepada pihak ketiga, maka seharusnya itu menjadi urusan internal PLN yang tidak ada kaitannya dengan masyarakat. Jangan pula masyarakat diminta membayar biaya pemasangan dan jaminan dua kali, kepada PLN juga kepada mitranya. Tidak baik kalau PLN bersembunyi di balik pihak ketiga untuk menghadapi masyarakat pelanggan hanya untuk memelihara sumber pendanaan yang tidak jelas yang selama ini mereka nikmati.

Bagaimana PLN tidak merugi setiap tahun kalau manajemen pelayanan yang sederhana saja seperti ini? Untuk penambahan daya seperti saya ini, banyak masyarakat rela membayar hingga Rp 2juta untuk kemudahan dan kepraktisan layanan. Jika PLN bisa menjawab tantangan ini, Rp 2juta tidak akan lari kepada calo-calo atau mitra PLN, tetapi masuk ke kas PLN sendiri.

Wednesday, January 10, 2007

Berbagi dengan Porter

Dulu pernah ada dalam sebuah mailing list, menjelang lebaran Idul Fitri, himbauan untuk berbagi dengan kuli angkut atau porter yang, khususnya, ada di stasiun kereta api. Himbauan itu mengingatkan, bahwa Rp 20.000 bagi seorang porter sungguh sangat berarti. Syukur-syukur Anda bisa memberi lebih dari itu, untuk 2-3 koper yang Anda dan keluarga Anda bawa pulang ke kampung.

Meskipun barang bawaan Anda mungkin tidak berat, berikanlah pekerjaan itu kepada porter. Apalagi untuk bawaan yang berat. Bagi warga Jakarta yang sukses, 20 kg mungkin sudah terasa berat sekali. Daripada memaksa membawa barang bawaan yang berat, yang akan dibawa pulang ke kampung, lebih baik serahkan saja kepada porter. Dengan memberikan pekerjaan itu kepada porter, bukan saja membuat kita bisa lebih santai dan meringankan tenaga kita sendiri, tetapi kita juga bisa berbagi kepada porter, yang anak dan istrinya mungkin sedang menanti uang barang 10 atau 20 ribu sebagai hasil kerjanya di stasiun kereta api sebagai kuli angkut.

***

Menjelang Idul Adha kemarin, pada 29 Desember 2006, aku sekeluarga pulang ke Semarang dengan kereta Argo Muria. Anakku yang paling kecil, Raisa, berkali-kali meminta naik kereta api. Maka perjalanan pulang kali ini aku putuskan untuk menggunakan kereta api.

Saat sedang berjalan di stasiun Gambir, aku mendengar ada orang sedang tawar-menawar. ”Limabelas ribu pak, bawaannya banyak dan berat,” kata suara di belakang saya. ”Sepuluh ribu deh,” kata satunya. Aku langsung tahu, pasti seorang penumpang sedang tawar-menawar dengan seorang porter. Maka akupun menengok ke samping belakang untuk melihat orang yang sedang tawar-menawar itu. Kulihat seorang porter tua dengan badan yang cukup kurus. Lalu kulihat penumpang yang menawar, astaghfirullah, seorang pria parlente yang sedang menggenggam handphone Nokia 9500. Sekiranya pria itu menggenggam Nokia 510, handphone sejuta ummat pada lima tahun yang lalu, mungkin aku masih memakluminya. Tapi ini, pria dengan handphone seharga Rp 5 juta di tangan, masih tega menawar untuk lima ribu rupiah pada seorang porter tua yang kurus?

Kita ini kadang aneh, Rp 5.000 terasa besar sekali ketika sedang berhadapan dengan kotak amal di masjid, sementara Rp 20.000 terasa sedikit sekali ketika memasuki mall. Rp 5.000 terasa besar sekali ketika sedang berhadapan dengan seorang pengemis, sementara Rp 20.000 terasa sedikit sekali ketika mau memasuki restoran. Rp 5.000 terasa besar sekali ketika berhadapan dengan pengamen jalanan, sementara Rp 20.000 terasa sedikit sekali ketika akan membeli bensin.

Naudzubillahi min dzalika!

Prabu Art

Selasa 26/12/2006 aku ke kantor Mas Chaizi. Ia menyarankan kepada saya untuk memiliki usaha yang kelak bisa diandalkan sebagai penghasilan di masa depan. Lalu ia menawarkan aku untuk bergabung dengan galeri seni yang baru saja ia buka di Kemang Timur. Galeri itu dimiliki oleh Mas Chaizi, seorang temannya di kantor, dan seorang seniman, Mas Herry namanya. Lalu Mas Chaizi menawarkan saya saham 20%, asal saya mau bergabung dan menjadi tenaga marketing, terutama lewat internet. Banyak barang seni dijual melalui internet dengan target pasar para peminat seni yang ada di luar negeri. Dan saya tahu, kawan sekantor saya dulu juga membuka galeri seni di Jogja, dan banyak menerima pesanan lewat website yang ia buka di internet.

Tawaran itu langsung saya terima. Sorenya, selepas jam kantor, aku diajak meninjau galerinya. Lumayan juga. Mas Herry, katanya, juga punya galeri di pasar seni Ancol. Ia mau bergabung dengan Mas Chaizi membuka galeri di Kemang Timur ini setelah terkena musibah, rumah dan workshop-nya di atas tanah 1000 meter di Kalimalang terbakar ludes dilalap si jago merah. Kulihat lukisan hasil karyanya memang bagus. Karena nama galeri yang diberikan oleh Mas Herry adalah Prabu Piccaso Art Home, kupikir hasil karyanya beraliran kubisme seperi karya Picasso, ternyata beraliran modernisme.

Selasa 2/1/2007 kemarin saya memesan website dengan alamat http://www.prabuart.com/ Desain webnya saya serahkan kepada seoang kawan lama, Bima namanya. Rencana, ahir bulan ini sudah harus selesai dan diluncurkan website-nya.