Saturday, May 27, 2006

For God And Country

For God and Country. Inilah buku yang membuat aku sakit. Karena saking tertariknya, kubaca buku tersebut semalam suntuk. Berikut adalah sinopsis yang ditulis oleh toko buku Cordova:

JAMES YEE, mencintai Tuhan dan Amerika, namun salah satunya memenjarakannya.

Kisah James Yee ini mengungkap bagaimana seorang lulusan West Point yang patriotik didakwa dengan dakwaan yang amat serius dan ditahan dalam sel isolasi-semua itu tanpa bukti apa pun.

James Yee dibesarkan di New Jersey dan -seperti ayah dan kakak-kakaknya- ingin mengabdi pada negaranya. Ia memutuskan untuk masuk US Army Chaplain Corps (Korps Ulama Angkatan Darat AS) sebagai salah seorang ulama Muslim pertama. Kisahnya ini dituturkan dengan amat memikat, menyuguhkan pandangan orang-dalam tentang kondisi di Teluk Guantanamo, tempat Yee ditugaskan pada tahun 2003. Tugasnya adalah melayani kebutuhan spiritual para tahanan di sana, dan karenanya ia lebih memahami kondisi mereka ketimbang orang lain. Namun, karena itu ia malah dijuluki 'Taliban Cina', disindir, dicerca, dan difitnah macam-macam. Semua itu tidak terbukti; seluruh dakwaan terhadapnya dibatalkan. Sayangnya, karier militer dan reputasinya telah lebih dulu hancur.

Inilah kisah yang mengungkap sisi gelap perang terhadap terorisme yang berlebihan dan tanpa aturan, yang menebar bahaya di mana-mana dan mengakibatkan seorang patriot Amerika sejati diperlakukan layaknya musuh. Bukannya mendapat penghargaan atas jasa-jasanya, Yee malah dihukum. Reputasi Amerika sebagai negara hukum yang adil ikut tercoreng bersamanya.

James Yee lulus dari West Point pada tahun 1990, mengabdi di Angkatan Darat AS selama empat belas tahun, termasuk tugas di Arab Saudi pasca-Perang Teluk I. Setelah memeluk Islam pada tahun 1991, ia belajar di Damaskus, Suriah selama empat tahun. Ia telah dua kali menunaikan ibadah haji ke Makkah. Kini ia tinggal di Olympia, Washington.

***
"Pelecehan terhadap kitab suci umat Islam kerap terjadi di Penjara Guantanamo. Polisi militer di penjara sering menggunakan lembaran Alquran untuk membersihkan lantai. Saya sering menemukan sobekan lembar Alquran di lantai," tutur Yee.

"Mereka tidak peduli pangkat saya kapten, lulusan West Point, akademi militer paling bergengsi di Amerika Serikat. Mereka tidak peduli agama saya melarang telanjang di hadapan orang. Mereka tidak peduli belum ada dakwaan resmi terhadap saya. Mereka tidak peduli istri dan anak-anak saya tidak mengetahui keberadaan saya. Mereka pun jelas tidak peduli kalau saya adalah warga Amerika yang setia dan, di atas segalanya, tidak bersalah," kata Yee.

Istrinya menggenggam pistol di tangan yang satu dan dua butir peluru di tangan lainnya. "Ajari aku cara menggunakannya," bisik wanita itu melalui telepon dari apartemen mereka di Olympia, Washington. Dari semua hal yang pernah dilalui James Yee -penahanan, tuduhan spionase, 76 hari dikurung di sel isolasi- ini adalah yang terburuk.

Rasa takut membadai di dadanya saat bicara di telepon dengan istrinya. Sebagai seorang ulama militer, Yee telah dilatih untuk mendeteksi dan mencegah tindakan bunuh diri. Yee tahu bahwa kondisi Huda telah kritis. Istrinya itu telah menemukan pistol Smith & Wesson miliknya yang disimpan di tempat tersembunyi di dalam lemari. Huda sudah merencanakan ini. Yee merasa tak berdaya...
***
PUJIAN:

  • Sarat dengan pengungkapan rahasia. (The Washington Post)
  • [Yee] mengatakan dalam bukunya bahwa otoritas militer secara sadar menciptakan atmosfer di mana para penjaga merasa bebas menyiksa para tahanan. (The New York Times)
  • Kisah pedih Yee yang ia sebut sebagai pelecehan terhadap keyakinan dan patriotismenya ini sunguh menggelisahkan... (USA Today)
  • James Yee tiba di Guantanamo sebagai perwira AS yang patriotik... Namun kemudian ia ditahan, dituduh menjadi mata-mata. Ini adalah kisahnya yang menggelisahkan. (The Sunday Times)
  • Kapten James Yee, korban paranoid Washington. (Kompas)
  • James Yee. Berbagai tekanan diterima karena ras dan kepercayaannya. (Tempo)
  • Yee mendapat perlakuan layaknya tahanan lain di kamp yang terkenal dengan kekejaman para penjaganya itu... (Republika)
  • Seriusnya situasi yang dihadapi Yee amatlah jelas. (Guardian)
  • [Yee] harus menjalani penyidikan militer yang sarat dengan kecurigaan terhadap keyakinanya... (Publishers Weekly)
  • [Kisah ini] menunjukkan bahwa tiada seorang pun yang aman pada masa-masa paranoid ini. (The Australian)
  • Buku ini sungguh bertenaga, mengungkap bagaimana ketakutan dan kebodohan dapat mengarah kepada pelecehan terhadap keadilan. (The Associated Press)
  • Chaplain Yee, dipenjara karena keyakinannya. (Asian Week)

Friday, May 26, 2006

Wireless

Tiga negara, yaitu Amerika, Inggris, dan Indonesia berlomba-lomba menentukan siapa di antara mereka yang lebih dulu menggunakan teknologi canggih. Dengan cara meneliti keadaan tanah negaranya masing-masing untuk melihat siapa yang terhebat di masa yang lalu. Disepakati penelitian dimulai dari Amerika, terus Inggris, dan terakhir Indonesia.

Di Amerika, setelah penggalian sudah mencapai 1000 meter maka ditemukan kabel tembaga, maka Team Amerika dengan banggannya menyimpulkan bahwa 1500 tahun yang lalu telah dibangun jalur telepon dengan memakai tembaga di Amerika.

Di Inggris, setelah penggalian sudah mencapai kedalaman 1000 m tidak ditemukan kabel tembaga, tetapi setelah mencapai kedalaman 1500 m ditemukan serpihan kaca maka Team Inggris tersebut dengan bangganya menyimpulkan bahwa 2500 tahun yang lalu telah dibangun jalur komunikasi dengan memakai Fiber Optik di Inggris.

Dan terakhir di Indonesia, setelah penggalian sudah mencapai kedalaman 500 m dan 1000 m sampai seterusnya tidak ditemukan apa-apa, lalu dengan sangat bangganya, Team Indonesia menyimpulkan bahwa 5000 tahun yang lalu komunikasi di sini telah menggunakan wireles.

Author: Unkown/dari milis JSP

Tuesday, May 16, 2006

Sakit Ingat Mati

Selasa 9/5/2006 lalu, makan malam dengan bakso di lapangan Blok S, ditutup dengan minum 2 botol teh botol sosro dingin. Tidak lama sesudahnya, tenggorokan terasa berlendir, hidung terasa ada sumbatan, badan sedikit menggigil.

Malam itu juga, sesudah dari lapangan Blok S, aku mampir ke toko buku Gramedia. Aku beli buku non-fiksi berjudul For God and Country, ditulis berdasarkan pengalaman penulisnya James Yee, seorang kapten angkatan darat Amerika Serikat keturunan China-Amerika. Ia menjadi korban perang melawan terorisme yang disulut oleh para pemimpin negaranya. Padahal selama ini ia merasa sangat patriotik membela bangsanya. Saking asyiknya, aku membaca dari jam 21-an hingga 3 dini hari. Lalu aku tidur.

Jam 5 esoknya, aku sudah bangun, lalu shalat shubuh, dan tidak terasa kantuk. Pikiran masih tertuju pada kegetiran yang dialami James Yee, yang tanpa tahu salahnya dipenjara oleh pemimpin militernya (satu-satunya kesalahan barangkali karena ia beragama Islam), dan secara sistematis dikucilkan oleh rekan-rekan dari dinas militernya, hingga tak tahan ahirnya dia keluar dari dinas militer yang sangat ia mimpikan itu. Siangnya aku demam, perut mual, mulut terasa pahit, kepala pening sekali. Malamnya aku tidur seolah tanpa mimpi. Aku seperti berjalan pada satu arah dengan pemandangan yang sama, tanpa motif, tanpa gambar, tanpa warna.

Tengah malam aku terbangun karena dada terasa sesak. Aku seolah merasa akan mati malam itu. Aku memohon ampun kepada Allah atas segala khilaf dan mungkin janji-janji yang belum sempat aku penuhi. Terutama janjiku pada ayah satu hari sebelum meninggal, untuk memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya kepada adik-adik dan menuntun seluruh adik-adik agar bisa hidup layak.

Sampai hari ini, 16/5/2006, badanku masih terasa lemas dan mulut terasa pahit. Kata sahabatku, Lalu Mara Satriawangsa, mungkin aku terkena gejala typhus.

Friday, May 05, 2006

Ingin Jadi Guru

Sebenarnya aku sudah lelah hidup di Jakarta. Aku ingin kembali ke kampung halaman. Mungkin aku bisa mengisi hidupku dengan menjadi guru di SMA Muhammadiyah Bumiayu. Aku bisa mengajar mata pelajaran komputer, matematika, fisika, atau bahasa Inggris.

Aku ingin hidup yang lebih simpel.

Wednesday, May 03, 2006

Modal Uang Bukan Segalanya

Dr. Chaizi Nasucha adalah om, atasan, guru, sekaligus mitra dalam kegiatanku sehari-hari selama hampir 5 tahun terakhir ini. Salah satu pelajaran yang selalu aku ingat: bisnis yang baik tidak perlu pakai uang, setidaknya tidak perlu keluar uang banyak. Berbisnislah seperti orang --maaf, bukan rasialis-- Cina, pakai uang bank; jangan seperti orang Jawa, bisnis pakai uang sendiri.

Salah satu yang aku tahu adalah bisnis seorang konglomerat muda pribumi, yang salah satu orang kepercayaannya aku kenal baik. Konglomerat muda tadi membeli tanah 12 hektar di bilangan Kuningan dg harga Rp 720 miliar. Pembayaran dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama saat jual beli sebesar 240 miliar, tahap kedua satu tahun berikutnya, tahap ketiga satu tahun berikutnya lagi. Dengan modal Rp 80 miliar, dia bisa membayar 240 miliar yang pertama, karena sisanya ditutup oleh sebuah bank. Tanah tersebut lalu ditawarkan kepada pihak asing dengan 2 syarat, boleh ambil setengah atau 6 hektar dengan harga 12jt/m2 tapi harus membangunkan gedung senilai 500 miliar secara turn key (bangunan selesai baru dibayar).

Dari hasil penjualan tanah yang setengahnya saja, konglomerat tadi sudah bisa menutup pembayaran tanah tersebut. Karena pembayarannya lebih cepat, dia bisa pula mendapatkan diskon. Dan kalau nanti bangunannya selesai dibangun, dia bisa mengambil kredit kembali ke bank untuk membayar biaya pembangunan gedungnya. Bayangkan, dengan modal 80 miliar, dalam 1 tahun, dia bisa mendapatkan aset lebih dari Rp 1 triliun. Artinya, modal yang diperlukan tidak lebih dari 10%.

Cerita ini, yang aku dapatkan kira-kira 2 bulan yang lalu, sangat klop dengan wejangan Dr. Chaizi Nasucha di atas. Apa yang ia katakan katanya berdasarkan pandangan yang ia dapatkan dalam laporan Bank Dunia, berdasarkan pada hasil evaluasi terhadap 150 negara di dunia pada tahun 1995, bahwa tingkat kesuksesan bisnis modern kira-kira ditentukan oleh hal-hal sebagai berikut:

Gagasan dan Kreatifitas 45%
Jaringan 25%
Teknologi (Profesionalisme) 20%
Modal atau Kapital 10%


Kini aku ingin mempraktekkannya dalam urusan pembelian ladang minyak Meruap di Sumatera Selatan. Ada kawan yang punya gagasan mengambil-alih Meruap, ladang minyak dengan kapasitas produksi 3000 barel/hari dengan cadangan bisa mencapai 20 juta barel. Dan aku memiliki kawan yang bisa membantu mengeluarkan SBLC, senilai US$ 90 juta. Keduanya adalah orang-orang yang sangat profesional, keduanya mengerti seluk-beluk perbankan dan dunia migas di wilayah up stream. Keduanya aku olah agar bisa bersinergi dan bisa menghasilkan peruntungan bisnis. Gagasan yang baik, jaringan yang luas, dan profesionalisme kawan-kawan yang terlibat, setidaknya sudah cukup memberikan harapan.

Kalau berhasil, kali ini aku tidak mau ambil fee sebagaimana lazimnya aku mengatur bisnis selama ini. Aku mau minta saham sebesar 5%. Dengan nilai perusahaan yang mau dibeli sekarang ini sebesar US$ 88 juta, maka sama saja dengan mendapatkan US$ 4,4 juta. Tapi dalam 10 tahun ke depan, perusahaan ini bisa bernilai US$ 500 juta.