Puisi Taufiq Ismail
Aku Rindu pada Zaman yang Ikhlas dan Bersahaja
(catatan-catatan ketika mengikuti seminar sejarah PDRI, 26 September 1989)
Dua hari aku duduk di tribun sebelah kanan, di jenjang atas, bagai menyaksikan sebuah pentas,
Dua hari aku memasang gendang telinga dan menyimak, menggali kembali ingatan pada Agresi Kedua, 1948 tahunnya,
Aku berenang di antara arus kertas kerja, penelitian, bibliografi dan wawancara, aku memetik gugusan buah pengalaman yang disajikan, kurasa sudah kukenal anotomi dan fisiologi-sukmamu wahai sejarah, tapi
ternyata aku baru menepuk-nepuk permukaan lautmu sahaja,
Inilah kesempatan emas bagiku dari atas tribun itu, menatap sosok-sosok pemeran drama 40-an tahun yang silam, mereka yang
mendirikan negeriku ini, mereka dahulu cendekian-cendekia sangat
belia, pemuda-pemuda yang memahat sebuah negara, remaja-remaja yang
baru belajar menggenggam laras senjata, operator radio dalam rimba
raya, diplomat-diplomat tanpa sertifikat, pelaut tanpa armada,
penerbang yang merindukan sayap-sayap, para pemberani yang tabah
menghadapi segala kemuskilan dalam beribu format,
Aku bayangkan mereka dulu berbadan kurus-kurus, sudut tulang rahang
jelas kelihatan, berambut hitam lebat, memakai pomade yang lengket,
dan aku ingat betul mereka bercelana model kedombrangan,
Mereka semuanya berani tapi bersikap bersahaja, mereka tidak
memikirkan uang dan materi tapi merenungkan dan memperjuangkan pikiran serta ide,
Aku terkenang pada sahabat-sahabat mereka yang tidak dapat hadir di
ruangan ini karena mereka telah lebih dahulu memenuhi panggilan
Illahi, begitu pula kuingat beribu-ribu manusia Indonesia lain pada
zaman itu yang dengan ikhlas memberikan nyawa mereka ketika
memerdekan Nusantara,
Mari kita tundukkan kepala sejenak, pejamkan mata beberapa detik,
dan kita bacakan dalam hati Al-Fatihah untuk mereka,
Ada suara lalu lintas Jakarta gemuruh di balik gedung ini, dan terbayang di mataku berjuta sosok yang tak kita kenal raut wajahnya, tak kita ketahui di mana adresnya, mereka itu dulutelah melepas gelang, berlian, kalung, cincin dan memecahtabungan, mereka itu yang membelikan senjata dan pesawat terbang untuk perang kemerdekaan.
Aku tak pernah tahu nama mereka, aku tak pernah melihat wajah mereka
di harian pagi dan sore ibukota, tidak dalam direktori Apa Siapa, di televisi tak pula muncul dalam acara wawancara, apalagi masuk dalam buku teks sejarah, baik sejarah resmi versi yang berkuasa maupun versi partikelir atawa swasta.
Apa dan bagaimana sebenarnya morfologi keikhlasan yang jadi kerangka
semuanya ini? Mengapa bisa berjuta-juta marionette menari dan melonjak-lonjak dalam suatu simponi gerakan yang sedemikian ruwet tapi sekaligus akhirnya Nampak beraturan di atas panggung histori, 50, 100, 200 tahun atau lebih waktu pementasannya, lalu para sejarawan sibuk mencatat dan menganalisanya, tapi dapatkah mereka menjawabnya?
Aku saksikan kepala-kepala yang cendekia menggeleng perlahan. “Yang bisa dengan rasa pasti menjawab,” kata Taufik Abdullah, “sebenarnya tahu sedikit saja.”
Sehabis masa yang dua hari ini, inilah yang kurindukan: suatu zaman
yang nyanyian bersamanya adalah nyanyian keikhlasan, suatu zaman di
mana kecambah ide dan lalu-lintas pikiran disenandungkan dengan nada
berbeda-beda tanpa ditekan harus sama semua ukuran panjang, lebar danwarnanya, zaman ketika senyum yang nampak tidak dipasang pada topengpanggung pementasan, zaman di mana sikap bersahaja diperebutkan.
Profil Singkat Taufiq Ismail (Lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935):
Antologi bersamanya adalah Manifestasi (1963).
Kumpulan puisinya: Tirani (1966), Benteng (1966), Buku Tamu Musium
Perjuangan (1969), Puisi-puisi Sepi (1971), Kota, Pelabuhan, Ladang,
Angin dan Langit (1971), Sajak Ladang Jagung (1973), Kenalkan Saya,
Hewan (sajak anak-anak, 1974), Puisi-puisi Langit (1990).
Bersama D.S. Moeljanto dia menyusun Prahara Budaya (1995).
Taufiq Ismail yang juga tokoh sastra Angkatan 66 ini adalah penerima
Anugerah Seni (1970), Australian Cultural Award (1977) dan South-East Asia Write Award (1994).
Sumber: posting Dwiki Setiyawan di milis Kahmi-Pro
No comments:
Post a Comment