Reimajinasi Indonesia: Kebhinnekaan, Kedaulatan, dan Keadilan[1]
Oleh: Ahmad Erani Yustika[2]
Sumpah Pemuda (SP) 28 Oktober 1928 merupakan tonggak penting dalam sejarah pembentukan Indonesia. Sekurangnya tiga ikrar dalam SP menjadi alas rumah Indonesia, yaitu bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu (Indonesia). Bertanah air bukan sekadar sinyal kehendak kolektif berpijak di bumi yang sama, tetapi keberanian untuk menjaga persatuan dan kesatuan di atas seluruh tumpukan keragaman (kebhinnekaan) yang begitu nyata. Berbangsa satu juga bukan cuma kesadaran mengikat gugusan pulau-pulau, tapi lebih merupakan manifestasi hasrat dan gelora keluar dari penindasan, atau semangat menggapai cita-cita kemerdekaan/kedaulatan. Demikian pula, berbahasa satu tidaklah hanya tanda perlunya bahasa komunikasi tunggal yang menjadi tali pengikat sebagai warga satu negara, namun komitmen berbahasa yang lebih universal, yakni keadilan bagi semua warga negara. Akhirnya, nilai-nilai luhur itulah yang menjadi imajinasi pemuda saat itu tentang “Indonesia”.
Setelah itu, pada saat Indonesia benar-benar hadir secara de jure, 17 Agustus 1945, preambule UUD 1945 dengan sangat meyakinkan memuat tujuan bernegara yang sebagian besar dihidupi dari semangat SP tersebut. Indonesia merdeka memanggul tujuan-tujuan berikut: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sampai di sini, imajinasi Indonesia yang dibayangkan pada 1928 itu sudah mendapatkan bentuk yang lebih konkret, yakni Indonesia dengan segala perkakasnya (ideologi negara, konstitusi, dan badan-badan pemerintah). Tentu saja, setelah proklamasi dikumandangkan dan segala perkakas bernegara dibuat, tugas berikutnya adalah menyempurnakan imajinasi tersebut dalam capaian-capaian riil yang terpantul dari nadi ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politik seluruh warga negara. Pertanyaannya, sejauh mana Indonesia yang dibayangkan itu telah menjelma menjadi kenyataan hidup hari ini?
Paradoks Modernisasi Ekonomi
Dengan menyederhanakan periode perjalanan bernegara, Indonesia saat ini telah menapaki tiga periode penting dalam perjalanannya, yaitu masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Orde Lama dikenang karena berhasil membangun kebanggaan menjadi warga negara Indonesia lewat semangat nasionalisme yang menyala, meskipun harus ditindih dengan kesumpekan ekonomi dan kegaduhan politik. Pada masa itu, Indonesia juga merupakan pemimpin negara-negara berkembang, yang berpuncak dengan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. Setelah itu, Orde Lama berakhir pahit pada 1965 melalui drama politik yang menyisakan kekelaman sampai kini. Orde Baru berkuasa cukup lama sampai 1998 dengan simbol kisah stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Selama 32 tahun hiruk pikuk politik dapat diredam digantikan dengan semarak berkegiatan ekonomi. Pendek kata, pembangunan ekonomi menjadi ikon rezim Orde Baru.
Seperti halnya Orde Lama, kekuasaan Orde Baru juga berakhir dengan perih. Presiden menyerahkan kepemimpinan tidak lewat pemilu usai tekanan politik yang sangat berat. Dengan demikian, Orde Reformasi naik ke panggung kekuasaan dengan mewarisi dua trauma di ujung kekuasaan yang tidak tuntas tersebut. Sampai saat ini, ketika fase Orde Reformasi masih memandu bernegara, terdapat pola lain yang dihadirkan untuk menjelmakan bayangan mengenai Indonesia. Kehidupan politik ditata lebih demokratis, desentralisasi ekonomi/politik dijalankan secara massif, arah ekonomi makin bebas, dan kehidupan sosial budaya kian terbuka. Tipikal ini jelas sebagian berbeda secara diametral dengan dua orde sebelumnya, tapi dengan hasil yang nampaknya juga tidak terlalu menumbuhkan optimisme. Hari-hari ini, aneka paradoks muncul di tengah upaya (entah serius atau tidak) untuk menegakkan kembali imajinasi Indonesia yang digagas berpuluh tahun lampau.
Pertama, paradoks tuntutan yang makin kuat agar negara menyelenggarakan pelayanan dan jaminan sosial/publik berhadapan dengan hasrat menggebu agar pemerintah menjual aset ekonomi yang dimilikinya (privatisasi).[3] Konstitusi memberi mandat kepada negara untuk menyejahterakan rakyat lewat penguasaan ekonomi, khususnya yang terkait dengan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, sumber daya alam, dan sektor strategis. Ruang itu diberikan karena kecerdasan dan kesadaran para pendiri negara tentang pentingnya “tugas sosial” negara. Di luar amanat tersebut, dipersilahkan seluruh sumber daya ekonomi dikerjakan oleh rakyat (sektor privat, dunia usaha, koperasi, dan lain sebagainya). Tapi kesalahan dan tekanan dalam memetakan persoalan membuat pemerintah melaju di jalur yang menyimpang: badan usaha milik negara (BUMN) dijual kepada swasta agar lebih sehat dan efisien. Privatisasi menjadi bahasa baru dalam keseharian pengelolaan aset ekonomi negara.
Implikasi atas pilihan tersebut amat panjang, bahkan bisa mengular sampai jauh. Disatu sisi, tuntutan negara sebagai pemasok hajat publik kian meningkat (pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, jalan, pelabuhan, irigasi, akses kredit, dan lain-lain), tapi di sisi lain instrumen yang dimiliki oleh negara untuk memenuhi tuntutan itu makin tergerus. Jika pemerintah punya bank, misalnya, relatif mudah bagi birokrasi mengatur perbankan mengucurkan kredit ke kaum miskin atau membangun infrastruktur. Demikian pula, bila kepemilikan negara atas sektor telekomunikasi, minyak dan gas, listrik, dan sejenisnya masih sangat besar, maka sungguh leluasa bagi negara untuk mengalokasikan pelayanan publik kepada masyarakat. Inilah paradoks yang dihadapi Indonesia hari ini: negara tergopoh menyantuni pelayanan publik dasar akibat jebakan privatisasi.[4] Kisah ini belum usai, karena setelahnya ada cerita soal negara yang masih harus menjaga hidup matinya korporasi.
Kedua, Orde Baru memang mewarisi kemajuan ekonomi dalam beberapa aspek, tapi satu yang juga ditinggalkan Orde Baru adalah ketimpangan kepemilikan aset yang luar biasa. Pernah terjadi, aset 300 konglomerat paling kaya setara dengan 75% APBN. Satu pemilik HPH (hak pengelolaan hutan) bisa menguasai 4 juta hektar, setara luas negara Swiss.[5] Seluruh ketimpangan itu terjadi karena keyakinan yang berlebih atas kebijakan yang sering disebut dengan “efek tetesan ke bawah”. Cuma perlu sedikit pelaku ekonomi yang diberi konsesi/fasilitas, maka yang lain akan terimbas dengan sendirinya. Terapi itulah yang dipercayai oleh Orde Baru, tentu dengan bingkai sistem politik tertutup, sehingga keluarlah aneka kebijakan tata niaga, monopoli/oligopoli, konsesi, kartel, dan semacamnya untuk mendongkrak perekonomian nasional. Namun, janji tetesan itu terbukti tidak pernah terjadi, yang berlangsung malah efek pemusatan yang makin parah.
Orde Reformasi menyempurnakan proses pembusukan itu lewat perlakuan yang naif: liberalisasi keuangan dan perdagangan. Rezim ini percaya liberalisasi akan menyehatkan persaingan ekonomi, tapi sambil melupakan aspek yang mendasar, yaitu menyiapkan lapangan persaingan yang adil di pasar domestik. Proses inilah yang saat ini sedang dijalani: kebebasan ekonomi dibuka tanpa pagar, sementara struktur persaingan ekonomi domestik dibatasi. Tentu gampang ditebak, penikmat kebebasan itu adalah pemilik aset dan pelaku ekonomi asing yang kelebihan dana. Pemusatan aset ekonomi kian menjadi-jadi sehingga negara ini nyaris hanya menjadi milik 5% warga saja, di samping pelaku ekonomi asing. Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, meski pada masa Orde Baru sekalipun, Gini Rasio Indonesia mencapai 0,38 (2010). Liberalisasi yang diangankan menjadi instrumen penyetara kemakmuran justru terpeleset menjadi jembatan ketimpangan.[6]
Ketiga, paradoks berikutnya adalah absurditas paripurna soal negara yang dipreteli sumber daya ekonomi dan otoritasnya sebagai regulator lewat privatisasi dan deregulasi, namun ketika korporasi ambruk (entah oleh krisis ataupun kejahatan yang dilakukan) negara diminta untuk menyelamatkannya. Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi babak baru kisah ini, ketika negara harus mengeluarkan lebih dari Rp 600 triliun untuk mengongkosi (bailout) perusahaan dan perbankan yang bangkrut. Sebagian uang itu ada yang dilarikan oleh para pemilik korporasi biadab tersebut, sebagiannya lagi digunakan untuk memulihkan nyawa perusahaan. Negara tidak punya pilihan lain karena selalu didesak dengan argumentasi gagah: bailout harus dilakukan demi menyelamatkan kesempatan kerja rakyat. Kisah ini diulang lagi pada 2008 lalu, sehingga menimbulkan gempa Century yang hingga kini belum tuntas perkaranya. Khalayan Indonesia untuk semua warga menjadi makin jauh dari realitas.
Keempat, paradoks yang terakhir adalah ilusi modernisasi lewat proyek industrialisasi. Transformasi ekonomi telah berjalan sejak dekade 1980-an, yang menggeser peran sektor pertanian setahap demi setahap, digantikan dengan sektor industri dan jasa. Tapi, seperti halnya proses liberalisasi, transformasi ekonomi melangkah di atas kealpaan-kealpaan yang kasat mata: keterampilan dan pendidikan tenaga kerja yang keropos, praktik mafia ekonomi yang menjamur, dan ekonomi berpijak pada kaki yang rapuh. Akibatnya, peran sektor ekonomi telah bergeser tapi tenaga kerjanya tidak beranjak sama sekali karena kurang memiliki keterampilan masuk ke sektor industri/jasa. Tabiat kegiatan ekonomi sudah maju seperti negara modern lainnya, tapi manajemen primitif produksi, distribusi, dan pemasaran masih diselenggarakan oleh para mafia.[7] Sekarang lebih dari 65% tenaga kerja tercerabut dari kerja di sektor formal dan hanya bisa mengais dari sampah modernisasi ekonomi.
Ilusi Demokrasi Uang
Penataan ekonomi seperti model yang dijabarkan di muka tentu juga menimbulkan biaya yang mahal. Ujung dari ongkos tersebut adalah dikorbankannya asas keadilan demi menyantuni kepentingan pragmatisme ekonomi. Padahal, negara ini direncanakan hidup tegak di atas altar prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Orde Baru mendapat kritik tajam karena gagal menyejahterakan sebagian besar rakyat akibat salah mempraktikkan otoritarianisme sehingga memengaruhi ketimpangan akses pengambilan keputusan. Kekeliruan tersebut direvisi dengan mengimplementasikan demokrasi yang diandaikan membuat lalu lintas transaksi politik menjadi lebih terbuka. Jika ini dikerjakan, maka sulit bagi pemerintah memberi keistimewaan kepada sebagian kecil rakyat dengan aneka fasilitas yang merusak sendi-sendi keadilan. Namun, sebelum cita-cita itu dapat dipenuhi aneka masalah lain datang terlebih dulu.
Di sini, modal sosial merupakan elemen kunci untuk menggerakkan masyarakat berpatisipasi secara sukarela dalam berbagai gerak kehidupan, khususnya politik dan ekonomi. Masyarakat tradisional diandaikan memiliki derajat kepercayaan yang kokoh, norma yang kuat, dan jaringan yang terjaga sehingga kegiatan ekonomi tidak menimbulkan residu yang berlebihan, seperti ketamakan dan macam-macam moral hazard lainnya. Tapi sistem ekonomi pasar yang dijajakan secara cepat membuat basis modal sosial itu perlahan–lahan mulai terkikis, sehingga memunculkan patologi-patologi yang sulit disembuhkan. Kapitalisme sebagai sebuah pilihan sistem ekonomi memang memberikan iming-iming yang menakjubkan: kebebasan transaksi dan kesejahteraan tanpa batas. Sungguh pun begitu, kebebasan transaksi itu membutuhkan kepercayaan yang tidak akan berjalan tanpa pasokan modal sosial yang utuh. Sebaliknya, kesejahteraan materi malah membuat deplesi sosial makin menguat.
Berikutnya, demokrasi tidak lain adalah kebebasan lalu lintas transaksi dalam lapangan politik yang berbasis pasar (political market). Seperti halnya transaksi ekonomi di pasar, demokrasi mengandaikan pula peran daya beli di dalamnya.[8] Pembeli dengan daya tawar yang paling tinggi berhak mendapatkan barang/jasa yang diinginkannya, kecuali apabila ada afirmasi tertentu yang ditaruh di dalamnya. Faktor daya beli kian merangsek manakala aturan main soal penetrasi uang tidak diperhatikan, sehingga secara sempurna kedigdayaan gagasan dimatikan oleh politik uang. Saat ini, dalam lapangan politik sulit dilahirkan kembali orisinalitas gerak partisipasi yang didorong oleh semangat cita-cita bersama atau perjuangan kolektif, seluruhnya tergantikan dengan spirit janji berbagi kuasa atau insentif material. Sama halnya dengan pragmatisme ekonomi, banalitas demokrasi yang diamalkan hari ini menjadikan politik berwajah kusam dan kebhinnekaan hanya ditaruh di almari kekuasaan.
Soal lain yang menjadi pertaruhan adalah keyakinan bahwa tindakan kolektif merupakan cara paling rasional untuk mendongkrak kekuatan para pelaku ekonomi yang selama ini tergolong lemah. Kaum tani, nelayan, peternak, pedagang informal, buruh, dan lain-lain merupakan komunitas yang kerap dipinggirkan akibat kebijakan ekonomi yang tidak berpihak maupun terdesak oleh kebuasan korporasi kakap. Ketika aksi kolektif disusun sebagai upaya berserikat yang sistematif, para pemimpinnya membajak upaya tersebut untuk memenuhi kepentinganya sendiri. Pada masa Orde Baru, tindakan kolektif itu dilemahkan dengan jalan membeli para pemimpinnya atau membuat tindakan kolektif tunggal yang mudah dikontrol. Namun, saat ini ketika negara memberi peluang bagi upaya aksi kolektif, para penunggang gelap menyelinap ke dalam tindakan kolektif tersebut dan berburu kuasa di sana. Lagi-lagi, mereka mewakili kepentingan ekonominya sendiri atau wakil dari pemodal yang merasa kepentingannya tersumbat akibat gerakan bersama tersebut. Hasilnya, aksi kolektif terus berbiak namun tanpa daya dorong bagi penguatan kaum papa.
Seluruh proses ini membawa konsekuensi yang amat pedih: pesta demokrasi dirayakan tanpa ruh keadilan. Segi tiga badan publik (pemerintah), komunitas (rakyat), dan modal (bisnis) yang seharusnya mendapatkan kavling setara dalam sistem ekonomi kapitalis berbasis pasar politik (demokrasi) ternyata menyimpan problem pemusatan ke satu arah saja. Badan publik diminta hanya mengurus tugas sosial sehingga ada alasan melucuti sumber daya ekonomi yang dipunyainya, sedangkan rakyat diputus sumbu modal sosialnya lewat pintu pragmatisme ekonomi. Dalam situasi seperti itu negara menjadi tidak berdaya karena ketiadaan amunisi untuk menyantuni pihak-pihak yang membutuhkan kehadirannya, sementara daya gerak masyarakat juga rapuh sebab dilemahkan oleh ikatan kepercayaan yang terkikis. Semuanya itu akhirnya hanya menyisakan kaum pemodal (bisnis) yang terus berjaya mengakumulasi kemakmuran melalui pasar bebas dan demokrasi uang yang sudah diijon terlebih dulu.[9]
Investasi Infrastruktur Sosial
Deskripsi di muka memberikan pijakan yang kuat bahwa mengkonstruksi Indonesia kembali seperti bayangan SP masa silam membutuhkan kemampuan mendamaikan tegangan-tegangan di antara paradoks-paradoks tersebut. Secara kategoris, pekerjaan rumah tersebut dapat dibagi dalam dunia jenis. Pertama, mengembalikan kembali infrastruktur sosial yang pernah menjadi perekat bangsa, yakni semangat gotong royong, jaringan sosial yang mapan, derajat kepercayaan yang besar, dan lain-lain. Proses ini jelas butuh waktu yang lama, tidak seperti fase merusaknya yang bisa dikerjakan cepat.[10] Pesimisme kerap hinggap di sini karena secara empiris kadang sulit menerima kenyataan hasil tidak bisa dipetik dalam jangka pendek. Kedua, mengajukan lagi pilihan-pilihan visi dan arah kebijakan yang tidak terjebak dalam situasi dilematis (trade-off) sehingga keberhasilan dalam satu aspek tidak harus mengorbankan aspek lainnya. Mestinya optimisme bisa lebih dipupuk pada titik ini karena sesungguhnya pilihan-pilihan itu ada di depan jendela rumah Indonesia.
Otonomi daerah dan desentralisasi ekonomi tetap merupakan jalur yang tidak bisa diubah karena secara faktual negeri ini tidak bisa diurus secara sentralistik. Tapi menyerahkan semua urusan kepada daerah semata tanpa rambu-rambu yang ketat menjadikan otonomi rawan pembajakan. Pasca-2001 dijumpai banyak upaya-upaya yang menelikung otonomi dengan melanggar asas kebhinnekaan, seperti regulasi berbasis agama, jalur kasta birokrasi yang didominasi oleh unsur etnis, kavling kegiatan ekonomi oleh ras tertentu, dan berbagai penyimpangan serius lainnya. Proses ini terjadi utamanya bukan akibat kesalahan konsep, tapi oleh sebab absennya aturan main dan pudarnya kewibawaan pemerintah pusat. Oleh karena itu, revisi terhadap otonomi mungkin diperlukan dalam batas-batas tertentu, namun yang lebih mendesak adalah membikin panduan yang lebih lengkap agar potensi penyimpangan tidak lagi terulang, termasuk mengembalikan kredibilitas pemerintah.
Mengawinkan pragmatisme ekonomi dan mencegah deplesi modal sosial adalah hajat lain yang tidak mudah dilakukan, tapi harus dikerjakan. Kemajuan dan modernisasi ekonomi barangkali proses yang tidak bisa dihentikan, tapi keberadaannya tidak boleh merapuhkan sendi-sendi modal sosial yang dimiliki masyarakat. Merawat modal sosial sama pentingnya dengan meraih kemakmuran ekonomi. Dengan kata lain, ekonomi boleh bergegas menyundul langit-langit kesejahteraan, tapi perjalanannya tetap harus berpijak pada norma, kepercayaan, dan jaringan sosial yang terpatri di bumi pertiwi. Langkah arif yang bisa diambil adalah menhindari proses transformasi ekonomi yang zig-zag dan mengikuti arah perkembangan aspek-aspek lainnya, seperti pendidikan dan keterampilan masyarakat/tenaga kerja. Keputusan yang terlalu cepat untuk mengadopsi praktik ekonomi modern dengan mengabaikan realitas pengetahuan masyarakat pasti berpotensi merusak sendi-sendi modal sosial tersebut.
Memisahkan tanggung jawab sosial negara dan melepas kewenangan negara untuk mengelola sumber daya ekonomi juga merupakan sesat pikir yang tidak boleh diamini. Falsifikasi yang sering disebut: negara akan melemahkan partisipasi ekonomi masyarakat bila dirinya terlibat langsung dalam kepemilikan dan pengelolaan sumber daya ekonomi. Sepintas kerangka pikir itu tampak logis, namun sebetulnya menyimpan prasangka buruk di baliknya. Pemilik sesat pikir itu sebetulnya mempunyai agenda penguasaan sumber daya ekonomi, sebab meskipun menguasai beberapa sumber daya ekonomi namun negara tidak akan memilikinya, semuanya digulirkan kembali demi layanan sosial dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, konstitusi hanya memberi amanat kepada tiga bidang penting yang wajib dikuasai negara: hajat hidup orang banyak, sektor strategis, dan sumber daya alam. Di luar itu, seluruh kegiatan ekonomi diserahkan kepada privat. Jadi, di sini sama sekali tidak ada benturan antara kebebasan ekonomi individu dengan pengelolaan sumber daya ekonomi oleh negara.
Akhirnya, tegangan penting lainnya yang kerap luput diperhatikan ialah mendamaikan demokrasi politik dan keadilan ekonomi. Secara teoritis demokrasi menafkahkan keadilan ekonomi karena rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk memengaruhi keputusan pemerintah. Rakyat juga mempunyai wakil penyuara yang duduk di parlemen untuk mengontrol pemerintah jika berlaku serong, atau tidak menyerap aspirasi masyarakat. Dalam realitas, bangunan teoritis itu tidaklah seindah di lapangan. Kekuatan modal menjadi poros yang melantakkan bangunan teoritis tentang mimpi indah demokrasi tersebut. Ini tidak hanya terjadi di negara baru seperti Indonesia, tapi juga menyergap negara lama yang demokrasinya sudah mapan, seperti di AS dan negara-negara Eropa. Itu sebabnya, AS pun juga kecolongan ketika pemerintahnya harus melakukan bailout pada saat krisis ekonomi 2008, yang secara brutal sebagian dipakai untuk memberi bonus kepada petinggi dan staf korporasi rakus, sehingga perih atas luka ketidakadilan terasa menusuk.[11]
Catatan Penutup
Gugusan pemikiran di atas membuka fakta yang terang bahwa menjaga tanah air, bangsa, dan bahasa merupakan sketsa hidup yang multidimensi dan dinamis. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat statis, tapi cara menggapainya selalu bergerak, termasuk perlu perkakas penopangnya. Keragaman Indonesia adalah keniscayaan yang tidak bisa disembuyikan, sedangkan upaya untuk merawatnya merupakan proses yang bersyarat. Inilah yang membuat komitmen saja tidak cukup, tapi juga butuh kecerdasan membaca peta situasi. Disebut bersyarat karena bertanah air adalah kesetian untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Kebangsaan merupakan hasrat keluar dari penindasan atau mendaki menuju kemerdekaan. Demikian pula, berbahasa satu meniti ke ujung yang bernama bahasa keadilan, bukan sekadar kesadaran berkomunikasi dengan bahasa yang seragam. Semuanya itu butuh pranata visi, sistem, dan kebijakan yang lurus tanpa paradoks-paradoks di dalamnya.
Singkatnya, reimajinasi Indonesia merupakan persuaan atas dua fenomena yang sekarang terjadi: paradoks yang membelenggu negara dan nostalgia atas ikrar bersama. Paradoks pembangunan tentu harus ditangani dengan ilmu pengetahuan yang mengabdi kepada cita-cita luhur bernegara (Sumpah Pemuda, Pancasila, UUD 1945), sedangkan nostalgia ikrar bersama mesti dikelola dengan kejernihan berpikir agar tidak jatuh sebagai jargon. Bingkai inilah yang menuntun perlunya merombak kembali pendulum pengelolaan negara sehingga paradoks-paradoks menjadi lumer dan digantikan konsesi-konsesi yang tidak saling menegasikan. Badan publik (negara) perlu diberi hak milik ekonomi untuk menyantuni kepentingan sosial rakyat; masyarakat dihidupi ruang politiknya untuk menyatakan eskpresi kepentingannya; dan sektor privat (bisnis) dijamin hak hidupnya untuk berselancar dalam gelombang ekonomi. Semuanya ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa kebhinnekaan, kedaulatan, dan keadilan tetap menjadi konstruk Indonesia yang pernah dibayangkan di masa silam.
____________________________
[1] Naskah ini disampaikan sebagai pengantar diskusi “Reimajinasi Keindonesiaan: Menjadi Indonesia di Tengah Kebhinnekaan”, yang diselenggarakan oleh Lingkar Muda Indonesia (LMI) bersama dengan Kompas, Jakarta, 28 Oktober 2011
[2] Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Anggota Dewan Nasional FITRA; dan Direktur Eksekutif INDEF
[3] Inilah yang mengawali era kekuasaan korporasi (swasta) yang menenggelamkan ruang publik (public sphere). Lebih tragis lagi, kekuasaan korporasi itu mampu memercepat terbentuknya masyarakat antipolitik (antipolitics) dengan kekuatannya untuk komodifikasi secara virtual aktivitas manusia melalui kepemilikan dan kontrol media, manipulasi pemilihan umum, dan peran kunci dalam globalisasi ekonomi. Lihat Carl Boggs, The End of Politics: Corporate Power and the Decline of the Public Sphere, The Guilford Press, New York, 2000, hal. 69
[4] Sebagai alternatif strategi, di negara-negara penganut demokrasi sosial (social democratic) mengambil opsi memberi kesempatan kepada sektor privat mendorong kesempatan kerja, namun pada saat itu pula melakukan langkah agresif penciptaan lapangan kerja lewat ekspansi pelayanan sektor publik. Lihat Torben Iversen, Capitalism, Democracy, and Welfare, Cambridge University Press, 2005, hal. 246
[5] Studi Perkumpulan Prakarsa yang terbaru juga menyebutkan 40 orang paling kaya di Indonesia memiliki aset setara 60 juta penduduk paling miskin dengan nilai sekitar Rp 680 triliun. Lihat The Jakarta Post, 26 Oktober 201
[6] Liberalisme dan neoliberalisme sebagai sebuah mazhab ekonomi bekerja tidak hanya menggunakan perangkat kebijakan, namun sekurangnya tegak oleh 3 manifestasi yang saling berkelindan, yakni ideologi (ideology), pola tata kelola (mode of governance), dan paket kebijakan (policy package). Lihat Manfred B. Steger dan Ravi K. Roy, Neoliberalism: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York, 2010, hal. 11
[7] Pola ini terjadi berhubungan dengan nilai-nilai perilaku (behavioral codes) yang makin terdeliberasi, termasuk praktik korupsi ekonomi dan aktivitas yang terkait dengan kejahatan terorganisasi. Lihat Amartya Sen, Development as Freedom, Anchor Books, New York, 1999, hal. 267
[8] Dalam kajian teoritis, demokrasi sendiri dianggap menjadi sumber masalah atas meningkatnya ketimpangan pendapatan justru oleh sebab keyakinan terhadap prinsip “one person, one vote”. Lihat Lester Thurow, The Future of Capitalism: How Today’s Economic Forces Will Shape Tomorrow’s World, Nicholas Brealey Publishing, London, 1996, hal. 248
[9] Problem ini terjadi pada lintas negara yang disebabkan operasi para pemodal kakap itu melompati batas-batas negara. Peristiwa meroketnya harga minyak pada pertengahan 2008 yang mencapai US$ 145/barrel sama sekali bukan disebabkan oleh konfigurasi perubahan permintaan dan penawaran. Kejadian itu lebih banyak didorong oleh para mafia dan spekulan yang kerap disebut dengan istilah mentereng: hudge funds, endowment funds, dan broker dealers. Lihat Nouriel Roubini dan Stephen Mihm, Crisis Economics: A Crash Course in the Future of Finance, The Penguin Press, New York hal. 123
[10] Proses menghidupkan kembali modal sosial merupakan pekerjaan yang rumit dan sangat sulit. Dalam banyak kasus, proses ini berlangsung dalam kurun multigenerasi yang meninggalkan banyak korban, di mana norma yang lama dihancurkan tanpa kesempatan untuk mengambil alih kembali. Lihat Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Touchstone, New York, 2000, hal. 250
[11] Pada saat itu, AS memberikan stimulus senilai US$ 800 miliar menggerakkan kembali perekonomian dari kubangan krisis, di mana sebagian dari dana situlus tersebut dilarikan untuk menutup kerugian megakorporasi yang ambruk akibat skandal subprime-mortgage. Lihat Josepgh Stiglitz, Freefall: America, Free Markets, and the Sinking of the World Economy, WW. Norton & Company Company, New York, 2010, hal. 62-63
Oleh: Ahmad Erani Yustika[2]
Sumpah Pemuda (SP) 28 Oktober 1928 merupakan tonggak penting dalam sejarah pembentukan Indonesia. Sekurangnya tiga ikrar dalam SP menjadi alas rumah Indonesia, yaitu bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu (Indonesia). Bertanah air bukan sekadar sinyal kehendak kolektif berpijak di bumi yang sama, tetapi keberanian untuk menjaga persatuan dan kesatuan di atas seluruh tumpukan keragaman (kebhinnekaan) yang begitu nyata. Berbangsa satu juga bukan cuma kesadaran mengikat gugusan pulau-pulau, tapi lebih merupakan manifestasi hasrat dan gelora keluar dari penindasan, atau semangat menggapai cita-cita kemerdekaan/kedaulatan. Demikian pula, berbahasa satu tidaklah hanya tanda perlunya bahasa komunikasi tunggal yang menjadi tali pengikat sebagai warga satu negara, namun komitmen berbahasa yang lebih universal, yakni keadilan bagi semua warga negara. Akhirnya, nilai-nilai luhur itulah yang menjadi imajinasi pemuda saat itu tentang “Indonesia”.
Setelah itu, pada saat Indonesia benar-benar hadir secara de jure, 17 Agustus 1945, preambule UUD 1945 dengan sangat meyakinkan memuat tujuan bernegara yang sebagian besar dihidupi dari semangat SP tersebut. Indonesia merdeka memanggul tujuan-tujuan berikut: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sampai di sini, imajinasi Indonesia yang dibayangkan pada 1928 itu sudah mendapatkan bentuk yang lebih konkret, yakni Indonesia dengan segala perkakasnya (ideologi negara, konstitusi, dan badan-badan pemerintah). Tentu saja, setelah proklamasi dikumandangkan dan segala perkakas bernegara dibuat, tugas berikutnya adalah menyempurnakan imajinasi tersebut dalam capaian-capaian riil yang terpantul dari nadi ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan politik seluruh warga negara. Pertanyaannya, sejauh mana Indonesia yang dibayangkan itu telah menjelma menjadi kenyataan hidup hari ini?
Paradoks Modernisasi Ekonomi
Dengan menyederhanakan periode perjalanan bernegara, Indonesia saat ini telah menapaki tiga periode penting dalam perjalanannya, yaitu masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Orde Lama dikenang karena berhasil membangun kebanggaan menjadi warga negara Indonesia lewat semangat nasionalisme yang menyala, meskipun harus ditindih dengan kesumpekan ekonomi dan kegaduhan politik. Pada masa itu, Indonesia juga merupakan pemimpin negara-negara berkembang, yang berpuncak dengan diselenggarakannya Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. Setelah itu, Orde Lama berakhir pahit pada 1965 melalui drama politik yang menyisakan kekelaman sampai kini. Orde Baru berkuasa cukup lama sampai 1998 dengan simbol kisah stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Selama 32 tahun hiruk pikuk politik dapat diredam digantikan dengan semarak berkegiatan ekonomi. Pendek kata, pembangunan ekonomi menjadi ikon rezim Orde Baru.
Seperti halnya Orde Lama, kekuasaan Orde Baru juga berakhir dengan perih. Presiden menyerahkan kepemimpinan tidak lewat pemilu usai tekanan politik yang sangat berat. Dengan demikian, Orde Reformasi naik ke panggung kekuasaan dengan mewarisi dua trauma di ujung kekuasaan yang tidak tuntas tersebut. Sampai saat ini, ketika fase Orde Reformasi masih memandu bernegara, terdapat pola lain yang dihadirkan untuk menjelmakan bayangan mengenai Indonesia. Kehidupan politik ditata lebih demokratis, desentralisasi ekonomi/politik dijalankan secara massif, arah ekonomi makin bebas, dan kehidupan sosial budaya kian terbuka. Tipikal ini jelas sebagian berbeda secara diametral dengan dua orde sebelumnya, tapi dengan hasil yang nampaknya juga tidak terlalu menumbuhkan optimisme. Hari-hari ini, aneka paradoks muncul di tengah upaya (entah serius atau tidak) untuk menegakkan kembali imajinasi Indonesia yang digagas berpuluh tahun lampau.
Pertama, paradoks tuntutan yang makin kuat agar negara menyelenggarakan pelayanan dan jaminan sosial/publik berhadapan dengan hasrat menggebu agar pemerintah menjual aset ekonomi yang dimilikinya (privatisasi).[3] Konstitusi memberi mandat kepada negara untuk menyejahterakan rakyat lewat penguasaan ekonomi, khususnya yang terkait dengan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, sumber daya alam, dan sektor strategis. Ruang itu diberikan karena kecerdasan dan kesadaran para pendiri negara tentang pentingnya “tugas sosial” negara. Di luar amanat tersebut, dipersilahkan seluruh sumber daya ekonomi dikerjakan oleh rakyat (sektor privat, dunia usaha, koperasi, dan lain sebagainya). Tapi kesalahan dan tekanan dalam memetakan persoalan membuat pemerintah melaju di jalur yang menyimpang: badan usaha milik negara (BUMN) dijual kepada swasta agar lebih sehat dan efisien. Privatisasi menjadi bahasa baru dalam keseharian pengelolaan aset ekonomi negara.
Implikasi atas pilihan tersebut amat panjang, bahkan bisa mengular sampai jauh. Disatu sisi, tuntutan negara sebagai pemasok hajat publik kian meningkat (pendidikan, kesehatan, perumahan, air bersih, jalan, pelabuhan, irigasi, akses kredit, dan lain-lain), tapi di sisi lain instrumen yang dimiliki oleh negara untuk memenuhi tuntutan itu makin tergerus. Jika pemerintah punya bank, misalnya, relatif mudah bagi birokrasi mengatur perbankan mengucurkan kredit ke kaum miskin atau membangun infrastruktur. Demikian pula, bila kepemilikan negara atas sektor telekomunikasi, minyak dan gas, listrik, dan sejenisnya masih sangat besar, maka sungguh leluasa bagi negara untuk mengalokasikan pelayanan publik kepada masyarakat. Inilah paradoks yang dihadapi Indonesia hari ini: negara tergopoh menyantuni pelayanan publik dasar akibat jebakan privatisasi.[4] Kisah ini belum usai, karena setelahnya ada cerita soal negara yang masih harus menjaga hidup matinya korporasi.
Kedua, Orde Baru memang mewarisi kemajuan ekonomi dalam beberapa aspek, tapi satu yang juga ditinggalkan Orde Baru adalah ketimpangan kepemilikan aset yang luar biasa. Pernah terjadi, aset 300 konglomerat paling kaya setara dengan 75% APBN. Satu pemilik HPH (hak pengelolaan hutan) bisa menguasai 4 juta hektar, setara luas negara Swiss.[5] Seluruh ketimpangan itu terjadi karena keyakinan yang berlebih atas kebijakan yang sering disebut dengan “efek tetesan ke bawah”. Cuma perlu sedikit pelaku ekonomi yang diberi konsesi/fasilitas, maka yang lain akan terimbas dengan sendirinya. Terapi itulah yang dipercayai oleh Orde Baru, tentu dengan bingkai sistem politik tertutup, sehingga keluarlah aneka kebijakan tata niaga, monopoli/oligopoli, konsesi, kartel, dan semacamnya untuk mendongkrak perekonomian nasional. Namun, janji tetesan itu terbukti tidak pernah terjadi, yang berlangsung malah efek pemusatan yang makin parah.
Orde Reformasi menyempurnakan proses pembusukan itu lewat perlakuan yang naif: liberalisasi keuangan dan perdagangan. Rezim ini percaya liberalisasi akan menyehatkan persaingan ekonomi, tapi sambil melupakan aspek yang mendasar, yaitu menyiapkan lapangan persaingan yang adil di pasar domestik. Proses inilah yang saat ini sedang dijalani: kebebasan ekonomi dibuka tanpa pagar, sementara struktur persaingan ekonomi domestik dibatasi. Tentu gampang ditebak, penikmat kebebasan itu adalah pemilik aset dan pelaku ekonomi asing yang kelebihan dana. Pemusatan aset ekonomi kian menjadi-jadi sehingga negara ini nyaris hanya menjadi milik 5% warga saja, di samping pelaku ekonomi asing. Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, meski pada masa Orde Baru sekalipun, Gini Rasio Indonesia mencapai 0,38 (2010). Liberalisasi yang diangankan menjadi instrumen penyetara kemakmuran justru terpeleset menjadi jembatan ketimpangan.[6]
Ketiga, paradoks berikutnya adalah absurditas paripurna soal negara yang dipreteli sumber daya ekonomi dan otoritasnya sebagai regulator lewat privatisasi dan deregulasi, namun ketika korporasi ambruk (entah oleh krisis ataupun kejahatan yang dilakukan) negara diminta untuk menyelamatkannya. Krisis ekonomi 1997/1998 menjadi babak baru kisah ini, ketika negara harus mengeluarkan lebih dari Rp 600 triliun untuk mengongkosi (bailout) perusahaan dan perbankan yang bangkrut. Sebagian uang itu ada yang dilarikan oleh para pemilik korporasi biadab tersebut, sebagiannya lagi digunakan untuk memulihkan nyawa perusahaan. Negara tidak punya pilihan lain karena selalu didesak dengan argumentasi gagah: bailout harus dilakukan demi menyelamatkan kesempatan kerja rakyat. Kisah ini diulang lagi pada 2008 lalu, sehingga menimbulkan gempa Century yang hingga kini belum tuntas perkaranya. Khalayan Indonesia untuk semua warga menjadi makin jauh dari realitas.
Keempat, paradoks yang terakhir adalah ilusi modernisasi lewat proyek industrialisasi. Transformasi ekonomi telah berjalan sejak dekade 1980-an, yang menggeser peran sektor pertanian setahap demi setahap, digantikan dengan sektor industri dan jasa. Tapi, seperti halnya proses liberalisasi, transformasi ekonomi melangkah di atas kealpaan-kealpaan yang kasat mata: keterampilan dan pendidikan tenaga kerja yang keropos, praktik mafia ekonomi yang menjamur, dan ekonomi berpijak pada kaki yang rapuh. Akibatnya, peran sektor ekonomi telah bergeser tapi tenaga kerjanya tidak beranjak sama sekali karena kurang memiliki keterampilan masuk ke sektor industri/jasa. Tabiat kegiatan ekonomi sudah maju seperti negara modern lainnya, tapi manajemen primitif produksi, distribusi, dan pemasaran masih diselenggarakan oleh para mafia.[7] Sekarang lebih dari 65% tenaga kerja tercerabut dari kerja di sektor formal dan hanya bisa mengais dari sampah modernisasi ekonomi.
Ilusi Demokrasi Uang
Penataan ekonomi seperti model yang dijabarkan di muka tentu juga menimbulkan biaya yang mahal. Ujung dari ongkos tersebut adalah dikorbankannya asas keadilan demi menyantuni kepentingan pragmatisme ekonomi. Padahal, negara ini direncanakan hidup tegak di atas altar prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Orde Baru mendapat kritik tajam karena gagal menyejahterakan sebagian besar rakyat akibat salah mempraktikkan otoritarianisme sehingga memengaruhi ketimpangan akses pengambilan keputusan. Kekeliruan tersebut direvisi dengan mengimplementasikan demokrasi yang diandaikan membuat lalu lintas transaksi politik menjadi lebih terbuka. Jika ini dikerjakan, maka sulit bagi pemerintah memberi keistimewaan kepada sebagian kecil rakyat dengan aneka fasilitas yang merusak sendi-sendi keadilan. Namun, sebelum cita-cita itu dapat dipenuhi aneka masalah lain datang terlebih dulu.
Di sini, modal sosial merupakan elemen kunci untuk menggerakkan masyarakat berpatisipasi secara sukarela dalam berbagai gerak kehidupan, khususnya politik dan ekonomi. Masyarakat tradisional diandaikan memiliki derajat kepercayaan yang kokoh, norma yang kuat, dan jaringan yang terjaga sehingga kegiatan ekonomi tidak menimbulkan residu yang berlebihan, seperti ketamakan dan macam-macam moral hazard lainnya. Tapi sistem ekonomi pasar yang dijajakan secara cepat membuat basis modal sosial itu perlahan–lahan mulai terkikis, sehingga memunculkan patologi-patologi yang sulit disembuhkan. Kapitalisme sebagai sebuah pilihan sistem ekonomi memang memberikan iming-iming yang menakjubkan: kebebasan transaksi dan kesejahteraan tanpa batas. Sungguh pun begitu, kebebasan transaksi itu membutuhkan kepercayaan yang tidak akan berjalan tanpa pasokan modal sosial yang utuh. Sebaliknya, kesejahteraan materi malah membuat deplesi sosial makin menguat.
Berikutnya, demokrasi tidak lain adalah kebebasan lalu lintas transaksi dalam lapangan politik yang berbasis pasar (political market). Seperti halnya transaksi ekonomi di pasar, demokrasi mengandaikan pula peran daya beli di dalamnya.[8] Pembeli dengan daya tawar yang paling tinggi berhak mendapatkan barang/jasa yang diinginkannya, kecuali apabila ada afirmasi tertentu yang ditaruh di dalamnya. Faktor daya beli kian merangsek manakala aturan main soal penetrasi uang tidak diperhatikan, sehingga secara sempurna kedigdayaan gagasan dimatikan oleh politik uang. Saat ini, dalam lapangan politik sulit dilahirkan kembali orisinalitas gerak partisipasi yang didorong oleh semangat cita-cita bersama atau perjuangan kolektif, seluruhnya tergantikan dengan spirit janji berbagi kuasa atau insentif material. Sama halnya dengan pragmatisme ekonomi, banalitas demokrasi yang diamalkan hari ini menjadikan politik berwajah kusam dan kebhinnekaan hanya ditaruh di almari kekuasaan.
Soal lain yang menjadi pertaruhan adalah keyakinan bahwa tindakan kolektif merupakan cara paling rasional untuk mendongkrak kekuatan para pelaku ekonomi yang selama ini tergolong lemah. Kaum tani, nelayan, peternak, pedagang informal, buruh, dan lain-lain merupakan komunitas yang kerap dipinggirkan akibat kebijakan ekonomi yang tidak berpihak maupun terdesak oleh kebuasan korporasi kakap. Ketika aksi kolektif disusun sebagai upaya berserikat yang sistematif, para pemimpinnya membajak upaya tersebut untuk memenuhi kepentinganya sendiri. Pada masa Orde Baru, tindakan kolektif itu dilemahkan dengan jalan membeli para pemimpinnya atau membuat tindakan kolektif tunggal yang mudah dikontrol. Namun, saat ini ketika negara memberi peluang bagi upaya aksi kolektif, para penunggang gelap menyelinap ke dalam tindakan kolektif tersebut dan berburu kuasa di sana. Lagi-lagi, mereka mewakili kepentingan ekonominya sendiri atau wakil dari pemodal yang merasa kepentingannya tersumbat akibat gerakan bersama tersebut. Hasilnya, aksi kolektif terus berbiak namun tanpa daya dorong bagi penguatan kaum papa.
Seluruh proses ini membawa konsekuensi yang amat pedih: pesta demokrasi dirayakan tanpa ruh keadilan. Segi tiga badan publik (pemerintah), komunitas (rakyat), dan modal (bisnis) yang seharusnya mendapatkan kavling setara dalam sistem ekonomi kapitalis berbasis pasar politik (demokrasi) ternyata menyimpan problem pemusatan ke satu arah saja. Badan publik diminta hanya mengurus tugas sosial sehingga ada alasan melucuti sumber daya ekonomi yang dipunyainya, sedangkan rakyat diputus sumbu modal sosialnya lewat pintu pragmatisme ekonomi. Dalam situasi seperti itu negara menjadi tidak berdaya karena ketiadaan amunisi untuk menyantuni pihak-pihak yang membutuhkan kehadirannya, sementara daya gerak masyarakat juga rapuh sebab dilemahkan oleh ikatan kepercayaan yang terkikis. Semuanya itu akhirnya hanya menyisakan kaum pemodal (bisnis) yang terus berjaya mengakumulasi kemakmuran melalui pasar bebas dan demokrasi uang yang sudah diijon terlebih dulu.[9]
Investasi Infrastruktur Sosial
Deskripsi di muka memberikan pijakan yang kuat bahwa mengkonstruksi Indonesia kembali seperti bayangan SP masa silam membutuhkan kemampuan mendamaikan tegangan-tegangan di antara paradoks-paradoks tersebut. Secara kategoris, pekerjaan rumah tersebut dapat dibagi dalam dunia jenis. Pertama, mengembalikan kembali infrastruktur sosial yang pernah menjadi perekat bangsa, yakni semangat gotong royong, jaringan sosial yang mapan, derajat kepercayaan yang besar, dan lain-lain. Proses ini jelas butuh waktu yang lama, tidak seperti fase merusaknya yang bisa dikerjakan cepat.[10] Pesimisme kerap hinggap di sini karena secara empiris kadang sulit menerima kenyataan hasil tidak bisa dipetik dalam jangka pendek. Kedua, mengajukan lagi pilihan-pilihan visi dan arah kebijakan yang tidak terjebak dalam situasi dilematis (trade-off) sehingga keberhasilan dalam satu aspek tidak harus mengorbankan aspek lainnya. Mestinya optimisme bisa lebih dipupuk pada titik ini karena sesungguhnya pilihan-pilihan itu ada di depan jendela rumah Indonesia.
Otonomi daerah dan desentralisasi ekonomi tetap merupakan jalur yang tidak bisa diubah karena secara faktual negeri ini tidak bisa diurus secara sentralistik. Tapi menyerahkan semua urusan kepada daerah semata tanpa rambu-rambu yang ketat menjadikan otonomi rawan pembajakan. Pasca-2001 dijumpai banyak upaya-upaya yang menelikung otonomi dengan melanggar asas kebhinnekaan, seperti regulasi berbasis agama, jalur kasta birokrasi yang didominasi oleh unsur etnis, kavling kegiatan ekonomi oleh ras tertentu, dan berbagai penyimpangan serius lainnya. Proses ini terjadi utamanya bukan akibat kesalahan konsep, tapi oleh sebab absennya aturan main dan pudarnya kewibawaan pemerintah pusat. Oleh karena itu, revisi terhadap otonomi mungkin diperlukan dalam batas-batas tertentu, namun yang lebih mendesak adalah membikin panduan yang lebih lengkap agar potensi penyimpangan tidak lagi terulang, termasuk mengembalikan kredibilitas pemerintah.
Mengawinkan pragmatisme ekonomi dan mencegah deplesi modal sosial adalah hajat lain yang tidak mudah dilakukan, tapi harus dikerjakan. Kemajuan dan modernisasi ekonomi barangkali proses yang tidak bisa dihentikan, tapi keberadaannya tidak boleh merapuhkan sendi-sendi modal sosial yang dimiliki masyarakat. Merawat modal sosial sama pentingnya dengan meraih kemakmuran ekonomi. Dengan kata lain, ekonomi boleh bergegas menyundul langit-langit kesejahteraan, tapi perjalanannya tetap harus berpijak pada norma, kepercayaan, dan jaringan sosial yang terpatri di bumi pertiwi. Langkah arif yang bisa diambil adalah menhindari proses transformasi ekonomi yang zig-zag dan mengikuti arah perkembangan aspek-aspek lainnya, seperti pendidikan dan keterampilan masyarakat/tenaga kerja. Keputusan yang terlalu cepat untuk mengadopsi praktik ekonomi modern dengan mengabaikan realitas pengetahuan masyarakat pasti berpotensi merusak sendi-sendi modal sosial tersebut.
Memisahkan tanggung jawab sosial negara dan melepas kewenangan negara untuk mengelola sumber daya ekonomi juga merupakan sesat pikir yang tidak boleh diamini. Falsifikasi yang sering disebut: negara akan melemahkan partisipasi ekonomi masyarakat bila dirinya terlibat langsung dalam kepemilikan dan pengelolaan sumber daya ekonomi. Sepintas kerangka pikir itu tampak logis, namun sebetulnya menyimpan prasangka buruk di baliknya. Pemilik sesat pikir itu sebetulnya mempunyai agenda penguasaan sumber daya ekonomi, sebab meskipun menguasai beberapa sumber daya ekonomi namun negara tidak akan memilikinya, semuanya digulirkan kembali demi layanan sosial dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, konstitusi hanya memberi amanat kepada tiga bidang penting yang wajib dikuasai negara: hajat hidup orang banyak, sektor strategis, dan sumber daya alam. Di luar itu, seluruh kegiatan ekonomi diserahkan kepada privat. Jadi, di sini sama sekali tidak ada benturan antara kebebasan ekonomi individu dengan pengelolaan sumber daya ekonomi oleh negara.
Akhirnya, tegangan penting lainnya yang kerap luput diperhatikan ialah mendamaikan demokrasi politik dan keadilan ekonomi. Secara teoritis demokrasi menafkahkan keadilan ekonomi karena rakyat memiliki kesempatan yang sama untuk memengaruhi keputusan pemerintah. Rakyat juga mempunyai wakil penyuara yang duduk di parlemen untuk mengontrol pemerintah jika berlaku serong, atau tidak menyerap aspirasi masyarakat. Dalam realitas, bangunan teoritis itu tidaklah seindah di lapangan. Kekuatan modal menjadi poros yang melantakkan bangunan teoritis tentang mimpi indah demokrasi tersebut. Ini tidak hanya terjadi di negara baru seperti Indonesia, tapi juga menyergap negara lama yang demokrasinya sudah mapan, seperti di AS dan negara-negara Eropa. Itu sebabnya, AS pun juga kecolongan ketika pemerintahnya harus melakukan bailout pada saat krisis ekonomi 2008, yang secara brutal sebagian dipakai untuk memberi bonus kepada petinggi dan staf korporasi rakus, sehingga perih atas luka ketidakadilan terasa menusuk.[11]
Catatan Penutup
Gugusan pemikiran di atas membuka fakta yang terang bahwa menjaga tanah air, bangsa, dan bahasa merupakan sketsa hidup yang multidimensi dan dinamis. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat statis, tapi cara menggapainya selalu bergerak, termasuk perlu perkakas penopangnya. Keragaman Indonesia adalah keniscayaan yang tidak bisa disembuyikan, sedangkan upaya untuk merawatnya merupakan proses yang bersyarat. Inilah yang membuat komitmen saja tidak cukup, tapi juga butuh kecerdasan membaca peta situasi. Disebut bersyarat karena bertanah air adalah kesetian untuk menjaga persatuan dan kesatuan. Kebangsaan merupakan hasrat keluar dari penindasan atau mendaki menuju kemerdekaan. Demikian pula, berbahasa satu meniti ke ujung yang bernama bahasa keadilan, bukan sekadar kesadaran berkomunikasi dengan bahasa yang seragam. Semuanya itu butuh pranata visi, sistem, dan kebijakan yang lurus tanpa paradoks-paradoks di dalamnya.
Singkatnya, reimajinasi Indonesia merupakan persuaan atas dua fenomena yang sekarang terjadi: paradoks yang membelenggu negara dan nostalgia atas ikrar bersama. Paradoks pembangunan tentu harus ditangani dengan ilmu pengetahuan yang mengabdi kepada cita-cita luhur bernegara (Sumpah Pemuda, Pancasila, UUD 1945), sedangkan nostalgia ikrar bersama mesti dikelola dengan kejernihan berpikir agar tidak jatuh sebagai jargon. Bingkai inilah yang menuntun perlunya merombak kembali pendulum pengelolaan negara sehingga paradoks-paradoks menjadi lumer dan digantikan konsesi-konsesi yang tidak saling menegasikan. Badan publik (negara) perlu diberi hak milik ekonomi untuk menyantuni kepentingan sosial rakyat; masyarakat dihidupi ruang politiknya untuk menyatakan eskpresi kepentingannya; dan sektor privat (bisnis) dijamin hak hidupnya untuk berselancar dalam gelombang ekonomi. Semuanya ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa kebhinnekaan, kedaulatan, dan keadilan tetap menjadi konstruk Indonesia yang pernah dibayangkan di masa silam.
____________________________
[1] Naskah ini disampaikan sebagai pengantar diskusi “Reimajinasi Keindonesiaan: Menjadi Indonesia di Tengah Kebhinnekaan”, yang diselenggarakan oleh Lingkar Muda Indonesia (LMI) bersama dengan Kompas, Jakarta, 28 Oktober 2011
[2] Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Anggota Dewan Nasional FITRA; dan Direktur Eksekutif INDEF
[3] Inilah yang mengawali era kekuasaan korporasi (swasta) yang menenggelamkan ruang publik (public sphere). Lebih tragis lagi, kekuasaan korporasi itu mampu memercepat terbentuknya masyarakat antipolitik (antipolitics) dengan kekuatannya untuk komodifikasi secara virtual aktivitas manusia melalui kepemilikan dan kontrol media, manipulasi pemilihan umum, dan peran kunci dalam globalisasi ekonomi. Lihat Carl Boggs, The End of Politics: Corporate Power and the Decline of the Public Sphere, The Guilford Press, New York, 2000, hal. 69
[4] Sebagai alternatif strategi, di negara-negara penganut demokrasi sosial (social democratic) mengambil opsi memberi kesempatan kepada sektor privat mendorong kesempatan kerja, namun pada saat itu pula melakukan langkah agresif penciptaan lapangan kerja lewat ekspansi pelayanan sektor publik. Lihat Torben Iversen, Capitalism, Democracy, and Welfare, Cambridge University Press, 2005, hal. 246
[5] Studi Perkumpulan Prakarsa yang terbaru juga menyebutkan 40 orang paling kaya di Indonesia memiliki aset setara 60 juta penduduk paling miskin dengan nilai sekitar Rp 680 triliun. Lihat The Jakarta Post, 26 Oktober 201
[6] Liberalisme dan neoliberalisme sebagai sebuah mazhab ekonomi bekerja tidak hanya menggunakan perangkat kebijakan, namun sekurangnya tegak oleh 3 manifestasi yang saling berkelindan, yakni ideologi (ideology), pola tata kelola (mode of governance), dan paket kebijakan (policy package). Lihat Manfred B. Steger dan Ravi K. Roy, Neoliberalism: A Very Short Introduction, Oxford University Press, New York, 2010, hal. 11
[7] Pola ini terjadi berhubungan dengan nilai-nilai perilaku (behavioral codes) yang makin terdeliberasi, termasuk praktik korupsi ekonomi dan aktivitas yang terkait dengan kejahatan terorganisasi. Lihat Amartya Sen, Development as Freedom, Anchor Books, New York, 1999, hal. 267
[8] Dalam kajian teoritis, demokrasi sendiri dianggap menjadi sumber masalah atas meningkatnya ketimpangan pendapatan justru oleh sebab keyakinan terhadap prinsip “one person, one vote”. Lihat Lester Thurow, The Future of Capitalism: How Today’s Economic Forces Will Shape Tomorrow’s World, Nicholas Brealey Publishing, London, 1996, hal. 248
[9] Problem ini terjadi pada lintas negara yang disebabkan operasi para pemodal kakap itu melompati batas-batas negara. Peristiwa meroketnya harga minyak pada pertengahan 2008 yang mencapai US$ 145/barrel sama sekali bukan disebabkan oleh konfigurasi perubahan permintaan dan penawaran. Kejadian itu lebih banyak didorong oleh para mafia dan spekulan yang kerap disebut dengan istilah mentereng: hudge funds, endowment funds, dan broker dealers. Lihat Nouriel Roubini dan Stephen Mihm, Crisis Economics: A Crash Course in the Future of Finance, The Penguin Press, New York hal. 123
[10] Proses menghidupkan kembali modal sosial merupakan pekerjaan yang rumit dan sangat sulit. Dalam banyak kasus, proses ini berlangsung dalam kurun multigenerasi yang meninggalkan banyak korban, di mana norma yang lama dihancurkan tanpa kesempatan untuk mengambil alih kembali. Lihat Francis Fukuyama, The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Touchstone, New York, 2000, hal. 250
[11] Pada saat itu, AS memberikan stimulus senilai US$ 800 miliar menggerakkan kembali perekonomian dari kubangan krisis, di mana sebagian dari dana situlus tersebut dilarikan untuk menutup kerugian megakorporasi yang ambruk akibat skandal subprime-mortgage. Lihat Josepgh Stiglitz, Freefall: America, Free Markets, and the Sinking of the World Economy, WW. Norton & Company Company, New York, 2010, hal. 62-63