Diriwayatkan oleh: Ami Mahzum Baisa
Cerita ini tentang jamaah dan baudeh Tegal. Dalam kultur pantura, tentu saja kisah ini bukan pelecehan rasial atau suku, tetapi lebih menggambarkan pembauran, dan wujud persaudaraan ras dan suku. Hanya mereka yang sudah menyatu yang bisa bercanda sesamanya.
Alkisah, di Tegal ada penjual obat, seorang jamaah, istilah yang merujuk kepada mereka keturunan Arab di Indonesia. Ia penjual obat yang terkenal seantero Tegal dan sangat berani. Di depan tokonya tertulis: "Mengobati segala macam penyakit. Tidak sembuh uang kembali 3x lipat!!"
Hebat toh? Jamaah itu berani menjamin obat yang dijual pasti menyembuhkan; tidak sembuh dia berani kembalikan uangnya hingga 3 kali lipat. Dan memang, sudah bertahun-tahun jualan obat, jamaah ini tidak pernah ada tuntutan. Bisnisnya lancar belaka. Alias, obatnya memang manjur.
Hingga akhirnya datanglah masa krisis ekonomi nasional. Harga-harga melambung. Banyak karyawan di-PHK. Di Tegal sendiri, toko-toko banyak yang gulung tikar. Mereka tidak bisa menghindar dari pengaruh krisis. Termasuk ada seorang baudeh (sebutan China oleh para jamaah), yang tidak luput dari dampak krisis.
Kesibukan melayani pembeli di tokonya hilang sudah. Ia sekarang banyak menganggur karena toko sepi. Untuk menghilangkan suntuk, ia kerap keliling kota Tegal sekedar untuk menghilangkan stress atau mencari peluang-peluang baru. Banyak hal baru dia temui. Maklum, selama ini, ia hampir tidak punya waktu untuk melihat kota Tegal.
Sejak kecil ia sibuk di toko orangtuanya, lalu mewarisi melanjutkan usaha leluhurnya itu. Lingkungan terjauh yang ia kenal mungkin hanya beberapa rumah di kanan dan kirinya --hampir semua arsitektur rumah-toko China di daerah Jawa sama, di depan digunakan sebagai toko, di belakang sebagai rumah tempat tinggal. Di samping, tentu saja, ia mengenal para langganan tokonya.
Ketika sepeda motornya melintas di depan toko obat tadi, ia kaget. "Hebat sekali ini toko obat," pikirnya. Baudeh tadi heran dengan keberanian toko obat menjamin pengembalian 3 kali lipat jika tidak sembuh. Didorong rasa penasaran, dia pinggirkan motornya, lalu ia coba untuk tengok ke dalam. Baudeh ini makin heran. Di dalam toko ramai sekali pembelinya.
Karena baudeh ini dari kecil memang dilatih berbisnis, seketika otak bisnisnya muncul ide. "Ini peluang emas. Daripada nyari duit susah, toko sepi, ini dia, gua bisa akalin nih orang Arab," kata baudeh pada dirinya.
Segera baudeh ini bergegas pulang. Iapun menyusun rencana. Ia ingin membeli obat yang termahal. Ia minta masukan pada istrinya. Akhirnya ia dapat ide: ia akan pura-pura sakit mati rasa. Mulutnya tidak bisa merasakan apa saja. Manis, pahit, kecut, pedas, apapun, tidak bisa dirasakan oleh mulutnya.
Keesokan harinya ia datangi toko obat itu. Beberapa menit sebelum bicara dengan penjual obatnya, ia pelajari dulu situasinya. Termasuk mempelajari cara memanggil penjualnya, agar komunikasi lebih lancar. Kalau di tokonya, orang Jawa dengan akrab memanggil dirinya dengan sebutan koh (koko) atau bah (babah). Di toko ini, orang Jawa memanggilnya bib (habib).
Setelah mantap, ia dekati penjualnya. Dengan akrab dia langsung konsultasi.
"Bib, saya punya penyakit berat, apa ente punya obatnya?" kata baudeh.
"Kan sudah ana tulis, segala penyakit," kata jamaah.
"Saya mau obat yang termahal, biar cepat sembuh," kata jamaah.
"Oo ada, cukup 3 kali makan, dijamin sembuh. Sekali makan Rp 5 juta," kata jamaah.
Mata baudeh berbinar-binar. Ia membayangkan, 3 kali Rp 5 juta berarti total biaya obat Rp 15 juta, lalu ia pura-pura tidak sembuh, maka ia bisa dapatkan Rp 45 juta.
"Tapi bib, apa jaminannya? Kalau 3 kali minum obat tidak sembuh habib harus kembalikan uang saya sebanyak 45 juta," tanya baudeh. Baudeh memang terkanal tidak mau rugi dan sangat hati-hati.
"Jaminan ada. Kalau mau sertifikat toko ini," jawab jamaah.
Akhirnya deal. Jamaah memperlihatkan sertifikat tokonya, baudeh mengeluarkan uang Rp 5 juta. Begitu melihat uang Rp 5 juta, penjual obat segera memerintah pegawainya, "Paijin, ambil obat nomer tigabelas!"
Setelah Paijin serahkan obatnya, jamaah meminta baudeh membuka mulutnya. Lep.. Obat itupun dengan cepat berpindah dari sendok ke mulut baudeh. Tidak ada sedetik, baudeh teriak. "Bbwah.. Ini sih tahi ayam!" teriak baudeh sambil memuntahkan obat tadi.
"Naah.. Mulutmu sudah sembuh!" kata jamaah sambil mengambil uang yang tergeletak di atas meja.
Baudeh itupun ngeloyor pergi. "Sial, mau tipu orang Arab malah kena tipu," gerutunya sepanjang jalan.
Sampai di rumah istrinya menghibur. Baudeh itu disarankan untuk datang lagi dengan penyakit yang lebih berat dan obat yang lebih mahal, agar uangnya bisa kembali dan untungnya jauh lebih besar.
Keesokan harinya ia datang lagi ke toko obat. Kali ini dandanannya ia ganti, biar penjual obat tidak mengenalinya. Ia bahkan memakai wig biar potongan rambutnya berbeda sama sekali.
"Bib, ana punya penyakit maha berat," kata baudeh mencoba memakai istilah "ana" untuk kata ganti "saya" biar tambah akrab.
"Nda masalah, ana sembuhkan nanti. Apa sakitnya?" tanya jamaah.
"Ana ini punya penyakit pelupa," kata baudeh.
"Ana naruh motor lupa. Janji sama orang lupa. Sampai istri ana lupa," lanjut baudeh menjelaskan penyakitnya.
"Oo bisa, cukup 3 kali makan, dijamin sembuh. Sekali makan Rp 10 juta," kata jamaah.
"Kalau 3 kali ana khawatir tidak sembuh bib, penyakit ana berat sekali. Lima kali deh" kata baudeh sambil membayangkan 10 kali 5 kali 3 alias 150juta.
Jamaah mengambil kalkulator. Ia balikkan badannya dari hadapan baudeh. Jari-jarinya segera menari di atas kalkulator. Mungkin ia menghitung untung dan ruginya. Selesai menghitung ia balik badan lagi dan berkata, "Setuju, lima kali ya!"
Maka baudehpun mengeluarkan uangnya, dan tidak lupa jamaah mengeluarkan sertifikatnya. Setelah uang di atas meja, jamaah memanggil pegawainya. "Paijin, ambilkan obat nomor 13," perintah jamaah.
Baudeh langsung berteriak. "Jangan bib, jangan obat nomor 13, itu tahi ayam," kata baudeh. "Naahh, ente belum ana kasih obat sudah sembuh," kata jamaah sambil mengambil uang yang 10 juta itu.
Baudehpun ngeloyor dan tidak pernah datang lagi ke toko obat itu.
:))
Tulisan ini juga tersedia di:
http://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/obat-nomor-13/383089748777
Published: Friday, April 9, 2010 at 8:10am
Cerita ini tentang jamaah dan baudeh Tegal. Dalam kultur pantura, tentu saja kisah ini bukan pelecehan rasial atau suku, tetapi lebih menggambarkan pembauran, dan wujud persaudaraan ras dan suku. Hanya mereka yang sudah menyatu yang bisa bercanda sesamanya.
Alkisah, di Tegal ada penjual obat, seorang jamaah, istilah yang merujuk kepada mereka keturunan Arab di Indonesia. Ia penjual obat yang terkenal seantero Tegal dan sangat berani. Di depan tokonya tertulis: "Mengobati segala macam penyakit. Tidak sembuh uang kembali 3x lipat!!"
Hebat toh? Jamaah itu berani menjamin obat yang dijual pasti menyembuhkan; tidak sembuh dia berani kembalikan uangnya hingga 3 kali lipat. Dan memang, sudah bertahun-tahun jualan obat, jamaah ini tidak pernah ada tuntutan. Bisnisnya lancar belaka. Alias, obatnya memang manjur.
Hingga akhirnya datanglah masa krisis ekonomi nasional. Harga-harga melambung. Banyak karyawan di-PHK. Di Tegal sendiri, toko-toko banyak yang gulung tikar. Mereka tidak bisa menghindar dari pengaruh krisis. Termasuk ada seorang baudeh (sebutan China oleh para jamaah), yang tidak luput dari dampak krisis.
Kesibukan melayani pembeli di tokonya hilang sudah. Ia sekarang banyak menganggur karena toko sepi. Untuk menghilangkan suntuk, ia kerap keliling kota Tegal sekedar untuk menghilangkan stress atau mencari peluang-peluang baru. Banyak hal baru dia temui. Maklum, selama ini, ia hampir tidak punya waktu untuk melihat kota Tegal.
Sejak kecil ia sibuk di toko orangtuanya, lalu mewarisi melanjutkan usaha leluhurnya itu. Lingkungan terjauh yang ia kenal mungkin hanya beberapa rumah di kanan dan kirinya --hampir semua arsitektur rumah-toko China di daerah Jawa sama, di depan digunakan sebagai toko, di belakang sebagai rumah tempat tinggal. Di samping, tentu saja, ia mengenal para langganan tokonya.
Ketika sepeda motornya melintas di depan toko obat tadi, ia kaget. "Hebat sekali ini toko obat," pikirnya. Baudeh tadi heran dengan keberanian toko obat menjamin pengembalian 3 kali lipat jika tidak sembuh. Didorong rasa penasaran, dia pinggirkan motornya, lalu ia coba untuk tengok ke dalam. Baudeh ini makin heran. Di dalam toko ramai sekali pembelinya.
Karena baudeh ini dari kecil memang dilatih berbisnis, seketika otak bisnisnya muncul ide. "Ini peluang emas. Daripada nyari duit susah, toko sepi, ini dia, gua bisa akalin nih orang Arab," kata baudeh pada dirinya.
Segera baudeh ini bergegas pulang. Iapun menyusun rencana. Ia ingin membeli obat yang termahal. Ia minta masukan pada istrinya. Akhirnya ia dapat ide: ia akan pura-pura sakit mati rasa. Mulutnya tidak bisa merasakan apa saja. Manis, pahit, kecut, pedas, apapun, tidak bisa dirasakan oleh mulutnya.
Keesokan harinya ia datangi toko obat itu. Beberapa menit sebelum bicara dengan penjual obatnya, ia pelajari dulu situasinya. Termasuk mempelajari cara memanggil penjualnya, agar komunikasi lebih lancar. Kalau di tokonya, orang Jawa dengan akrab memanggil dirinya dengan sebutan koh (koko) atau bah (babah). Di toko ini, orang Jawa memanggilnya bib (habib).
Setelah mantap, ia dekati penjualnya. Dengan akrab dia langsung konsultasi.
"Bib, saya punya penyakit berat, apa ente punya obatnya?" kata baudeh.
"Kan sudah ana tulis, segala penyakit," kata jamaah.
"Saya mau obat yang termahal, biar cepat sembuh," kata jamaah.
"Oo ada, cukup 3 kali makan, dijamin sembuh. Sekali makan Rp 5 juta," kata jamaah.
Mata baudeh berbinar-binar. Ia membayangkan, 3 kali Rp 5 juta berarti total biaya obat Rp 15 juta, lalu ia pura-pura tidak sembuh, maka ia bisa dapatkan Rp 45 juta.
"Tapi bib, apa jaminannya? Kalau 3 kali minum obat tidak sembuh habib harus kembalikan uang saya sebanyak 45 juta," tanya baudeh. Baudeh memang terkanal tidak mau rugi dan sangat hati-hati.
"Jaminan ada. Kalau mau sertifikat toko ini," jawab jamaah.
Akhirnya deal. Jamaah memperlihatkan sertifikat tokonya, baudeh mengeluarkan uang Rp 5 juta. Begitu melihat uang Rp 5 juta, penjual obat segera memerintah pegawainya, "Paijin, ambil obat nomer tigabelas!"
Setelah Paijin serahkan obatnya, jamaah meminta baudeh membuka mulutnya. Lep.. Obat itupun dengan cepat berpindah dari sendok ke mulut baudeh. Tidak ada sedetik, baudeh teriak. "Bbwah.. Ini sih tahi ayam!" teriak baudeh sambil memuntahkan obat tadi.
"Naah.. Mulutmu sudah sembuh!" kata jamaah sambil mengambil uang yang tergeletak di atas meja.
Baudeh itupun ngeloyor pergi. "Sial, mau tipu orang Arab malah kena tipu," gerutunya sepanjang jalan.
Sampai di rumah istrinya menghibur. Baudeh itu disarankan untuk datang lagi dengan penyakit yang lebih berat dan obat yang lebih mahal, agar uangnya bisa kembali dan untungnya jauh lebih besar.
Keesokan harinya ia datang lagi ke toko obat. Kali ini dandanannya ia ganti, biar penjual obat tidak mengenalinya. Ia bahkan memakai wig biar potongan rambutnya berbeda sama sekali.
"Bib, ana punya penyakit maha berat," kata baudeh mencoba memakai istilah "ana" untuk kata ganti "saya" biar tambah akrab.
"Nda masalah, ana sembuhkan nanti. Apa sakitnya?" tanya jamaah.
"Ana ini punya penyakit pelupa," kata baudeh.
"Ana naruh motor lupa. Janji sama orang lupa. Sampai istri ana lupa," lanjut baudeh menjelaskan penyakitnya.
"Oo bisa, cukup 3 kali makan, dijamin sembuh. Sekali makan Rp 10 juta," kata jamaah.
"Kalau 3 kali ana khawatir tidak sembuh bib, penyakit ana berat sekali. Lima kali deh" kata baudeh sambil membayangkan 10 kali 5 kali 3 alias 150juta.
Jamaah mengambil kalkulator. Ia balikkan badannya dari hadapan baudeh. Jari-jarinya segera menari di atas kalkulator. Mungkin ia menghitung untung dan ruginya. Selesai menghitung ia balik badan lagi dan berkata, "Setuju, lima kali ya!"
Maka baudehpun mengeluarkan uangnya, dan tidak lupa jamaah mengeluarkan sertifikatnya. Setelah uang di atas meja, jamaah memanggil pegawainya. "Paijin, ambilkan obat nomor 13," perintah jamaah.
Baudeh langsung berteriak. "Jangan bib, jangan obat nomor 13, itu tahi ayam," kata baudeh. "Naahh, ente belum ana kasih obat sudah sembuh," kata jamaah sambil mengambil uang yang 10 juta itu.
Baudehpun ngeloyor dan tidak pernah datang lagi ke toko obat itu.
:))
Tulisan ini juga tersedia di:
http://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/obat-nomor-13/383089748777
Published: Friday, April 9, 2010 at 8:10am