Wednesday, June 18, 2008

Tiga Mimpi

Dalam hidupku, ada 3 mimpi yang tidak akan pernah saya lupakan. Ini mimpi dalam arti yang sesungguhnya, mimpi yang datang saat saya sedang tidur, bukan dalam artian harapan.

Mimpi pertama, adalah mimpi tentang nilai Ebtanas (evaluasi belajar tahap akhir nasional). Saat itu aku sedang di tempat tumpangan, di rumah tanteku di Poncol, Senen, Jakarta Pusat. Malam itu aku ingin sekali pulang ke Bumiayu untuk melihat pengumuman kelulusan SMA. Tapi kondisi memaksaku untuk tidak pulang. Aku tidak punya uang buat pulang balik Jakarta-Bumiayu. Padahal, ingin sekali aku tahu hasil ujianku.

Setelah shalat malam, aku berdoa kepada Allah untuk diberi perkabaran lewat mimpi tentang nilai ujianku. Menjelang subuh aku terbangun. Terbayang mimpi yang baru saja aku alami. Aku bermimpi bertemu guru matematika, Pak Asrori. Dia menyalamiku sambil mengucapkan, "Nilaimu sangat bagus tapi ada 1 yang merah".

Beberapa hari kemudian, saat aku akhirnya balik ke Bumiayu untuk mengambil STTB (surat tanda tamat belajar) atau ijasah, aku lihat nilai-nilaiku. Semua di atas 7 angkanya. Saat aku lihat Nilai Ebtanas Murni (NEM), kulihat angka 9 untuk Matematika dan Fisika, angka 7 untuk Bhs Indonesia, Bhs Inggris, dan Kimia, serta 5 untuk pelajaran Biologi. Ternyata benar apa yang telah dikabarkan lewat mimpi tempo hari. Ada 1 pelajaran yang nilainya merah. Merah adalah sebutan untuk nilai 5 ke bawah.

Mimpi kedua adalah mimpi yang sudah aku ceritakan sebelumnya lewat tulisan di blog ini dengan judul Mimpi Jadi Kenyataan. Silahkan klik judul tersebut untuk membaca ceritanya.

Mimpi ketiga, adalah saat aku kuliah di the University of Arizona at Tucson. Aku mimpi bertemu Rasulullah, manusia agung yang kehadirannya sekedar lewat mimpi ditunggu-tunggu dengan penuh harap oleh jutaan muslim di seluruh dunia. Ya, believe it nor not, aku bermimpi melihat junjungan kaum muslimin itu.

Ceritanya, dalam mimpi itu aku sedang bermain bola di tengah lapangan yang sangat luas. Lapangan itu berada di tengah gedung-gedung bertingkat. Saat bola melambung mendekatiku dan aku hendak menendang, kudengar adzan dhuhur, lalu sebuah tangan menangkap bola itu sebelum aku sempat menendangnya. Aku langsung menengadah, kulihat orang tersebut. Subhanallah, dia Rasulullah saw. Itulah yang aku yakini dalam mimpi itu.

Dengan lembut manusia yang penuh kemuliaan itu menyeru, "Berhentilah bermain bola, segera kerjakan shalat." Setengah tidak percaya aku sedang bertemu Rasulullah, aku berusaha melihat wajahnya dari jarak yang sangat dekat. Ketika jarak sudah sangat dekat aku terbangun.

Itulah 3 mimpi yang rasanya akan sulit hilang dari memoriku.

Sunday, June 15, 2008

Ingat Masa Lalu

Dua hari terakhir ini, aku terus-menerus teringat pada masa lalu. Aku teringat pada nenek, pakde dan bude, yang seluruhnya sudah meninggalkan dunia yang fana ini. Ketika kondisi fisik sedang menurun, perasaanku memang seperti ini: menjadi sangat sensitif.

Sabtu pagi aku bermimpi melihat kecelakaan, dua bus tabrakan, dan aku melihat dengan jelas para korban serta kondisi busnya yang rusak parah. Langsung saja saya menafsirkan, apakah saya akan mendapat kecelakaan di jalan hari ini? Kebetulan, Sabtu siang agendanya adalah jalan-jalan ke puncak. Raisa sudah lama mengajak jalan-jalan ke Gunung Mas di kawasan puncak untuk naik kuda di tengah kebun teh.

Alhamdulillah, malam ini aku sekeluarga sudah kembali ke Jakarta dan ternyata tidak ada masalah apa-apa. Apa yang aku rasakan tadi pagi hanyalah perasaan buruk saja, perasaan was-was yang semestinya tidak perlu dirisaukan. Itu bukanlah sebuah "tanda-tanda".

Berbeda saat aku hendak mencoba naik kereta api Jakarta-Bogor. Saat itu aku punya dua pilihan, naik mobil atau naik kereta api dan dijemput kawan di stasiun Bogor. Karena sudah lama tidak naik kereta api, akhirnya aku memilih naik kereta dengan alasan sederhana: karena ingin mencoba.

Menjelang berangkat, tiba-tiba dadaku berdegup kencang. Aku tidak tahu apa sebabnya. Badan terasa bergetar untuk beberapa saat dan berulang beberapa kali. Aku abaikan "tanda-tanda" ini, dan aku meluncur ke stasiun Kalibata diantar sopirku.

Ketika kereta mendekati stasiun UI, tiba-tiba aku ingin telepon kawanku untuk bersiap-siap menjemput di stasiun Bogor. Ketika merogoh saku, handphone kecilku tidak ada. Lalu aku serta merta merogoh tas kecilku, ternyata aku dapati HP Nokia 9500-ku juga sudah raib.

Sejak itu aku sering mencoba membaca "tanda-tanda".
***
Seringkali, saat sedang sensitif aku lantas teringat pada masa-masa laluku, masa kecil saat hidup bersama nenek; masa-masa yang sangat indah dan penuh kebahagiaan. Hidup di tengah-tengah masyarakat yang sangat guyub dan memiliki hubungan persaudaraan yang sangat erat, adalah sebuah pengalaman hidup yang tidak mungkin terlupakan sepanjang masa.

Beruntung, aku termasuk orang yang bisa mengingat masa-masa kecilku dengan jelas. Aku masih bisa mengingat kejadian saat aku jatuh dari jembatan sungai kecil yang ada dekat rumah nenek, lalu telapak kaki kananku tertusuk jarum besar sepanjang 5-7 cm yang sudah berkarat. Setelah diangkat dari sungai, aku dibawa masuk ke belakang rumah dan dicabut jarumnya dekat sumur. Setelah jarum itu dicabut oleh Bibi Ijah, aku dibawa ke mantri kesehatan untuk disuntik agar tidak terkena tetanus. Kata ibuku, peristiwa itu terjadi saat aku berumur sekitar 3 tahun.

Aku juga masih ingat, saat setiap pagi menjelang subuh berjalan sendirian dari rumah orangtuaku menuju rumah nenekku yang berjarak sekitar 500-700 meter, melewati sebuah kuburan, tempat yang saat itu sangat ditakuti anak-anak kecil. Saat aku berumur 4 tahun, orangtua pindah rumah dan hidup terpisah dengan nenek. Tetapi, karena aku lahir dan besar di rumah nenek, aku tidak mau pisah dari nenek. Karena itu, setiap malam aku tidur bersama orangtua, menjelang subuh kembali ke rumah nenek dan bermain di sana sampai sore.

Aku bahkan masih bisa merasakan kebahagiaan dan suasana meriahnya hari Idul Fitri di rumah nenek bersama seluruh saudara dan handai taulan. Perasaan ini yang membuatku selalu menangis saat mendengar suara takbir di malam Idul Firi atau Idul Adha. Bukan saja suara takbir itu seolah memiliki daya magis untuk telingaku, tetapi lantunan gema takbir yang syahdu itu sekaligus mampu menghidupkan seluruh memori masa kecilku dalam sebuah ingatan kejadian dan perasaan dalam waktu yang bersamaan.

Saat-saat sedang rindu pada kehidupan masa lalu seperti itu, aku mencoba kembali memandang perjalanan hidupku sejak kecil, menjelang masuk SD, saat sekolah SD, terus hingga aku berangkat ke Amerika Serikat, ketika aku harus memulai hidupku di atas kakiku sendiri. Aku bayangkan satu persatu wajah seluruh saudara yang pernah singgah dalam hidupku, yang sebagian sudah meninggal, sebagian besar lainnya sudah hidup sendiri-sendiri dan terpisah oleh jarak yang cukup jauh.

Rasanya hidupku sudah sangat panjang sekali. Ada perasaan ingin pulang kembali ke kampung halaman dan hidup sederhana di sana, melepas dahaga batin hidup di kota metropolitan seperti Jakarta ini :)