Monday, March 26, 2007

Rejeki Korea

Bulan Maret ini sepertinya angin potensi rejeki berhembus cukup kencang dari Korea. Tidak tanggung-tanggung, bulan ini ada 3 urusan dengan orang-orang Korea.

Pertama, ada orang Korea yang ingin bekerjasama dengan anak perusahaan Bakrie & Brothers untuk turut berpartisipasi pada proyek pembangunan apartemen di bilangan Kuningan. Anak perusahaan tersebut telah memiliki MoU dengan sebuah perusahaan Korea. Tetapi sampai batas akhir 30 Desember 2006, perusahaan Korea tersebut nampaknya tidak bisa memenuhi kewajibannya. Salah satu kewajiban perusahaan Korea dalam MoU itu adalah mendatangkan investasi Rp 400 miliar untuk pembangunan tower 3. Lalu ada Korea lain menawarkan MoU baru, tapi dengan perusahaan lain yang lebih siap, terutama untuk pendanaan yang dijanjikan datang dari Korea itu. Lewat seorang kawan, Korea itu datang kepada saya, meminta saya untuk melobi anak perusahaan tersebut agar bersedia membuat MoU baru.

Kedua, ada orang Korea yang ingin mendapatkan pekerjaan pembersihan limbah di Dumai. Saat bulan Ramadhan lalu, Pak Robin pernah membawa rekannya dari Riau, seorang anggota DPRD Kabupaten di propinsi tersebut, dan memperkenalkannya dengan saya. Saat itu Pak Robin sedang berurusan dengan pekerjaan security yang dibutuhkan sejumlah perusahaan minyak di propinsi itu. Bulan April nanti kawan itu akan datang ke Jakarta untuk bertemu dengan pihak Korea yang menginginkan pekerjaan pembersihan limbah B3 di sana.

Ketiga, ada kawan yang bergerak pada jasa pengiriman TKI ke Korea Selatan. Ia sudah memiliki kerjasama dengan Korean Language and Cultural Interchange (KLI). Kerjasama yang dilakukan, KLI berkewajiban mencari lowongan pekerjaan di Korea sekaligus memberi pelatihan/kursus bahasa Korea kepada calon TKI yang dikumpulkan oleh kawan itu. Untuk membuka kursus tersebut di Purwokerto, kawan tadi mengajak bekerjasama. Saya diminta menyediakan modal awal untuk menyewa tempat kursus sekaligus pemondokan untuk para peserta kursus. Selanjutnya, tugas kawanku mendatangkan TKI, dan tugas KLI untuk memberikan paket kursus yang sudah mereka sediakan. Dari hitung-hitungan di atas kertas, usaha ini nampaknya cukup menggiurkan. Dengan modal Rp 100 juta, usaha ini bisa mendatangkan keuntungan sekitar Rp 600juta untuk satu kali angkatan, dibagi dengan proporsi 40:60, 40% untuk saya dan 60% untuk mereka. Dalam satu angkatan bisa dilatih minimal 200 TKI, yang dilatih selama 90 hari. Dalam 1 tahun bisa diselenggarakan 3 kali pelatihan. Senen (26/3) sore, saya bersama Ivan akan ke Purwokerto melihat tempat yang akan disewa sebagai tempat pelatihan bahasa Korea, serta melihat persiapan pengadaan meja kursi untuk keperluan pelatihan dan tempat tidur para peserta.

Mungkin lagi waktunya berhembus angin Korea :)

Sunday, March 04, 2007

Mengapa Aku Tidak Bisa Mendengar?

Setiap orangtua, pasti menginginkan anaknya lahir dengan sempurna, tanpa suatu kekurangan apapun. Kemudian orangtua itu akan membesarkan anaknya dengan penuh kesabaran dan rasa suka cita, karena menginginkan anaknya tumbuh besar menjadi anak yang sehat dan pintar. Ketika anaknya baru bisa berjalan atau ketika baru bisa memangil orangtuanya dengan kata mama, papa, aba, atau panggilan lainnya, orangtua akan sangat berbahagia dan membanggakannya dengan menceritakannya kepada sanak saudara, teman, atau tetangganya. Sebagai orang tua, akupun menginginkan yang demikian pada anak-anakku.

Tetapi, kebahagiaanku seperti sirna, ketika sudah lewat dua tahun usia anakku yang kedua, memperlihatkan tanda-tanda yang kurang menyenangkan. Hanya dua kata yang bisa ia ucapkan, yaitu kata "mama" dan "papa", dan tidak ada respon kalau aku memanggilnya. Aku merasa adanya gangguan pada pendengaran anakku. Ketika aku diskusikan pada istriku, ia tidak percaya. “Anak laki-laki banyak yang baru bisa bicara pada usia 3 atau bahkan 4 tahun,” katanya.

Atas saran seorang kawan, almarhum almukarom Haji Suchaemi, aku diminta membawa anakku kepada seorang ahli pijat saraf. Mungkin ada gangguan pada perkembangan sarafnya. Shadra, nama anakku yang kedua, memang pernah jatuh dari tangga ketika berusaha naik ke lantai atas di rumah tinggal yang aku kontrak dulu pada usia 10-11 bulan. Ia juga pernah sakit panas ketika berada di Pati, dan harus di-opname di rumah sakit hingga 7 hari, dan ada dugaan dokter salah menangani: ia menyuntik anakku ketika panas sedang tinggi.

Maka, akupun membawa anakku kepada ahli pijat saraf langganan kawan baikku itu, seorang dukun pijat saraf di daerah Subang. Karena aku belum memiliki kendaraan sendiri saat itu, aku berlangganan taksi Silverbird untuk membawa keluargaku ke sana dua kali seminggu. Rutinitas itu aku jalani selama lebih dari setengah tahun, namun tidak juga menunjukkan tanda-tanda perubahan.

Sebagai ayah, aku haqqul yakin, ada gangguan pada pendengaran anakku. Tetapi istriku, ia selalu menolak setiap aku meyakinkan akan hal itu. Akhirnya aku mengajak istriku untuk membawa Shadra kepada seorang dokter anak. Ketika diperiksakan kepada dokter anak, diagnosanya adalah hiperaktif. Aku cukup lega dengan hasil diagnosa itu. Kata dokter, hiperaktif bisa ditangani atau disembuhkan. Dokter itupun merujuk dr Dewi di Bandung sebagai dokter yang bisa menangani anak-anak hiperaktif. Saat itu umur Shadra menjelang 4 tahun. Setengah tahun berobat rutin ke Bandung setiap minggu kepada dr Dewi, tidak juga membawa perubahan apapun.

Langkah terakhir untuk meyakinkan istriku, Shadra aku bawa ke dokter THT di Jl. Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat. Di sana ia ditest pendengarannya. Hasilnya semakin jelas, telinga kiri bisa mendengar pada kekuatan suara 90dB (decibels) dan telinga kanan sedikit lebih parah, baru bisa mendengar pada kekuatan suara di atas 110dB. Istriku sepertinya sangat terpukul. Ia belum bisa menerima sepenuhnya. Lalu aku bawa kembali Shadra ke Cikini, untuk ditest pendengarannya, sebagai second opinion. Hasilnya kurang lebih sama, telinga kiri mendengar pada kekuatan 90dB, telinga kanan tidak bisa dideteksi.

Untuk mulai melatih anakku berkomunikasi dengan orang lain dan memulai proses pendidikannya, aku dan istriku bersepakat membawa Shadra ke Yayasan Santi Rama yang menyelenggarakan pendidikan dari Taman Latihan (TL), SD, SMP, dan SMA untuk anak-anak tunarungu. Usia Shadra saat itu menjelang 5 tahun. Karena Shadra menunjukkan ciri-ciri anak hiperaktif, anakku tidak bisa diterima di TL Santi Rama. Alasannya, ia bisa mengganggu proses belajar anak tunarungu lainnya. Kami disarankan menyembuhkan dulu gejala hiperaktif yang diperlihatkan anakku.

Setahun kemudian, kami kembali mendatangi Yayasan Santi Rama. Anakku kembali ditolak dengan alasan umurnya sudah terlalu tua. TL Santi Rama diperuntukkan bagi anak umur 6 tahun yang sudah mengambil kelas bimbingan sebelumnya, kelas yang pada tahun sebelumnya Shadra ditolak untuk memasukinya dengan alasan hiperaktif. Aku sangat marah. Aku merasa dipermainkan. Aku sempat curiga dengan kepala sekolahnya yang kebetulan beragama Katholik. Memang beredar rumor, banyak anak yang ditolak oleh kepala TL Santi Rama agar anak itu dimasukkan kepada sekolah Katholik yang menangani anak-anak tunarungu.

Akhirnya istriku, bersama beberapa orangtua yang anaknya juga ditolak dengan alasan yang tidak jelas, menghadap kepada wakil kepala sekolah. Alhamdulillah, akhirnya dibuka kelas baru, disebut kelas P Khusus atau Program Khusus, untuk menampung sekitar 8 anak yang ditolak masuk oleh kepala sekolah tersebut. Kabarnya, ada orangtua yang melapor kepada ketua yayasan, istri dari almarhum Jenderal AH Nasution, mengenai ditolaknya sejumlah anak masuk TL tersebut dengan alasan yang tidak jelas. Aku betul-betul bersyukur, ada jalan buat memberikan pendidikan kepada anakku.

***

Enam tahun sudah sejak peristiwa itu. Jumat lalu, saat aku berdoa untuk kesembuhan anakku di antara dua khutbah Jum’at yang rutin aku lakukan, aku berdoa sambil menangis. Materi khotbah Jum’at kemarin adalah mengenai puji-pujian yang senantiasa dilakukan oleh para malaikat. Akupun terhenyak. Bagaimana dengan anakku, kalau sampai besar ia tidak bisa memuji Asma Allah? Maka akupun berdoa sambil menangis, “Ya Allah, sembuhkanlah pendengaran anakku, agar ia bisa mendengar dan menyebut nama-Mu, agar ia bisa mengagungkan nama-Mu. Ya Allah, sekiranya Engkau akan mencabut kenikmatan hidupku untuk ditukar dengan pendengaran anakku, akupun rela Ya Allah..”

Sebagai orang yang cukup rasional, kadang aku tertawa dengan doa-doaku yang seperti itu. Aku jelas tidak mungkin berdoa agar buburbisa kembali menjadi nasi. Tetapi istriku sungguh luar biasa, ia selalu percaya, kalau Allah berkehendak, bisa saja pendengaran Shadra disembuhkan menjadi normal seperti anak lainnya. Ia selalu mendorong saya untuk terus berdoa tanpa perlu berputus asa.

Aku sering mengatakan pada diriku dan pada istriku, adalah fakta bahwa Shadra adalah seorang tunarungu. Tidak ada yang bisa merubahnya. Ini adalah fakta. Ini adalah fakta yang harus aku hadapi. Aku harus mencari cara-cara yang rasional pula untuk menanggulanginya, di antaranya dengan menyekolahkan anakku, atau mencari tindakan medis yang mungkin bisa menyembuhkannya. Aku mendengar ada tindakan medis untuk menyembuhkan pendengaran yang rusak, konon katanya bisa dilakukan di Israel. Ada juga metode, semacam, transplantasi di Singapura, tetapi hasilnya tidak memuaskan. Keluhan banyak ditemui ketika anaknya sudah besar. Mungkin hasilnya yang belum sempurna, hasil transplantasi itu kerapkali menjadi penganggu bagi anak-anak tunarungu itu.

***

Akupun teringat sekitar setahun yang lalu, ketika Shadra bertanya kepadaku dengan suaranya yang sengau karena tidak bisa mengucapkan bunyi huruf dengan sempurna “Papa, kenapa Shadra tidak bisa mendengar seperti Raisa?” Ia menyebut nama adiknya karena saat itu Raisa sedang berbicara dengan kakaknya, Shemissa, sambil tertawa-tawa di depan televisi.

Aku tidak bisa menjawab. Entah dengan cara apa aku harus menjawab. Kosa kata yang dimiliki anak tunarungu seusia Shadra, 12 tahun sekarang, setara dengan kosa kata anak normal usia 7 tahun. Aku hanya menjawab singkat, “Dulu kamu pernah sakit, lalu pendengaran kamu menghilang.” Lalu aku secepatnya memalingkan wajahku, agar ia tidak melihat mataku yang berkaca-kaca.

Yang aku bangga, Shadra sangat menjaga adiknya yang sekarang berusia 33 bulan. Katanya, “Raisa tidak boleh sakit, biar tidak seperti abang yang tidak bisa mendengar.” Mendengar kalimat itu diucapkan oleh Shadra, sekali lagi, aku hanya bisa menangis.