Wednesday, August 27, 2014

SBY Gagal Kelola Kebijakan Migas Selama 10 Tahun

Kegagalan pemerintahan SBY (yang dalam pilpres kemarin mendukung pasangan Prabowo-Hatta hehehehe) dalam kebijakan bbm bisa saya ringkas sebagai berikut:

1. program energi alternatif seperti biofuel yg dulu pernah dicanangkan seperti penanaman jarak gagal total karena tidak sinkron dan seriusnya program tersebut,

http://www.solopos.com/2012/03/19/proyek-jarak-gagal-total-171639

2. pengalihan minyak ke gas tidak digarap dengan serius; di jakarta hanya bajaj biru dan sejumlah taksi yg memakai gas sebagai bahan bakar kendaraannya; dan pertamina tidak serius menyediakan outlet pengisian gas (SPBG) yang memadai,

http://m.energitoday.com/2014/06/10/indonesia-terkesan-tak-serius-lakukan-program-konversi-bbm-ke-bbg/

http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/29/2/204201/Pemerintah-Seriusi-Konversi-BBM-ke-Gas

http://www.esdm.go.id/berita/migas/40-migas/6639-program-konversi-bbm-ke-bbg-bukan-omdo.html

3. pembelian bbm langsung ke produsen (1 juta barrel per hari) tidak dilakukan dengan alasan (sebagaimana dulu pernah disampaikan oleh Sri Mulyani sbg Menkeu) pemerintah cq Pertamina tidak punya uang untuk membeli secara langsung, karenanya harus lewat pihak ke3 (trader) dalam hal ini petral oil, yang harganya lebih mahal sekitar 8-10 US dollar per barrel dari harga pasaran, dus mafia minyak ini dalam hitungan saya mengantongi keuntungan sekitar Rp 40-50 triliun per tahun (total subsidi bbm kita sekarang dg rate 1 USD=12.000rp adalah Rp 450 triliun),

http://sains.kompas.com/read/2012/03/01/21492933/function.include

http://idsaham.com/news-saham-Pertamina-dilarang-beli-minyak-dari-pedagang-268594.html

http://jakarta.okezone.com/read/2012/05/17/452/630970/pertamina-siap-impor-langsung-dari-produsen

4. investasi yang ditawarkan sejumlah negara seperti arab saudi, iran, dan china untuk membangun refinery di indonesia ditolak oleh pemerintah cq menko perokonomian -- saya tidak tahu apa alasannya, apakah benar terkait keuntungan mafia minyak seperti ditulis di no 3 di atas yg tdk mau terganggu karena mengalir pembagiannya secara merata ke sejumlah elit, atau karena alasan ekonomi-politik lainnya saya tidak tahu.

*****
Kkarena itu, sesakti apapun, Jokowi-JK tidak mungkin bisa menyulap krisis bbm dalam setahun apalagi sehari...

Tapi saya yakin, karena Jokowi tidak punya kepentingan dengan bisnis pengadaaan bbm seperti menko kita yang nyawapres kemarin, kebijakan dan program pembenahan energi/bbm dapat segera diwujudkan, dan kita hrs bersabar krn itu butuh waktu...

‪#‎ini_salah_satu_alasan_saya_dukung_jokowi‬#

Wednesday, April 23, 2014

Dicoret dari DPP Gerindra

Tulisan ini sudah saya upload ke Notes Facebook pada 14 April 2013, jam 11:31pm


***
Awalnya adalah sebuah sms yang saya terima sekitar tahun 2010/2011. Sms itu datang dari kawan yang aku kenal lewat milis Muhammadiyah Society. Kawan itu mengirimkan surat yang isi persisnya sudah tidak kuingat. Kalau direkonstruksi, isi sms tersebut kurang lebih:

"Saya sangat berharap pada kepemimpinan Prabowo pada 2014 nanti. Saya mendukung program-program kerakyatannya. Tetapi saya sedikit kecewa dg tayangan tv tentang Prabowo semalam. Tidak seharusnya niatan membantu orang miskin dilakukan dengan cara memperlihatkan kemewahan, seperti kuda yang harganya miliaran, pesawat jet pribadi, ruang kantor yang mewah, dan pengawalan super ketat yg memperlihatkan jarak dg warga. Mungkin maksudnya baik, bahwa membela orang miskin tidak harus orang miskin atau hidup dalam kemiskinan. Tetapi apa yang diperlihatkan semalam di tv justru tidak menunjukkan empati kepada orang miskin. Mudah-mudahan ke depan kalau membuat program tv bisa diperhatikan hal-hal sensitif spt itu."

Menurut saya, sms itu berisi kritik yang bagus. Sms yang tulus dari pendukung Prabowo Subianto yang tidak ingin ada kesalahan dalam pencitraan. Sms itu bukan mengkritik Prabowo, tetapi mengkritik program tv tentang Prabowo, yang mungkin saja dibuat oleh sebuah tim yang ada di sekitar Prabowo. Karena isinya kuanggap bagus, sms itu aku forward ke banyak pihak di dalam internal Gerindra.

Apa yang terjadi kemudian? Dalam sebuah acara partai, Prabowo dari podium berteriak "ada pengurus DPP, orangnya gendut, dia menjelek-jelekkan saya melalui sms, dikirim ke mana-mana.... Dan seterusnya"

Akhir cerita, setelah KLB Gerindra di Hambalang pada 12 Pebruari 2012, KLB yang layak dicatat MURI karena selesai dalam hitungan jam bukan hari, Prabowo mendapat mandat sepenuhnya menjadi formatur tunggal untuk menyusun kepengurusan DPP yang baru.

Maka sudah bisa ditebak, dalam daftar pengurus yang baru, nama sayapun dicoret dari DPP, karena dianggap tidak loyal sama sang jenderal. Ternyata sang jenderal yang mengaku dirinya sebagai orang yang demokratis itu tidak tahan kritik.

Sumber: https://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/dicoret-dari-dpp-gerindra/10151453565383778

Pemimpin Harapan Bangsa

Tulisan ini pernah dimuat di tabloid internal Gerindra dan diupload ke Notes Facebook pada 31 Agustus 2012 jam 7:08pm

***
Indonesia Raya membutuhkan pemimpin yang berani melawan dominasi kepentingan asing yang sudah lama bercokol di republik ini. Itulah yang saya percayai sejak lama, justru setelah saya pulang dari Amerika Serikat sesudah menyelesaikan studi saya di bidang engineering di sana. Dan sudah sejak awal 1990-an, saya melihat sosok Prabowo Subianto sebagai personifikasi pemimpin yang saya impikan mampu membawa Indonesia keluar dari rantai kolonialisme yang masih terus berlanjut di republik ini melalui institusi-instusi baru mereka seperti World Bank dan IMF, setelah kolonialisme dalam bentuk negara ditabukan dalam hubungan internasional.

Dalam gagasan itulah saya bertemu dengan Prabowo Subianto, dan saya rela menjadi pendukung rasionalnya. Fakta politik memperlihatkan, dalam perjalanannya ada beberapa isu yang membelit tokoh harapan saya ini, terutama isu penculikan yang sampai sekarang masih saja dianggap belum selesai meski secara militer dan hukum sudah selesai sejak lama. Masih ada pihak-pihak yang mencoba mengungkit kasus itu hanya untuk sekedar menjadi alat untuk menjatuhkan. Semua itu tidak menyurutkan saya dalam memberikan dukungan dan harapan akan munculnya pemimpin ideal bagi republik ini.

Dalam berbagai forum, terutama forum-forum di dunia maya yang sudah saya ikuti sejak tahun 1990an, seperti mailing-list (milis) Apa Kabar dan Isnet, dan belakangan di tahun 2000an muncul milis-milis dari dalam negeri seperti milis Kahmi_Pro yang beranggotakan alumni HMI Profesional dan milis Muhammadiyah Society, saya kerap menghadapi berbagai hujatan yang dialamatkan kepada sosok harapan saya itu. Tanpa ragu, saya sering tampil menjelaskan duduk perkaranya, serta memberikan pembelaan dari perspektif saya.

***
Ketika tahun 2008 beberapa rekan aktifis mengajak saya bergabung mendirikan Partai Gerindra, tanpa ragu saya bergabung. Menghadapi tantangan mendirikan partai yang harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah dalam waktu yang singkat, selama 6 bulan harus mampu mendirikan sejumlah DPD dan DPC yang disyaratan undang-undang, saya tidak ragu dan yakin mampu memberikan bantuannya, meski pada saat itu banyak pihak-pihak yang meragukan –alhamdulillah yang awalnya meragukan itu kini sudah bisa ikut bersama-sama menikmati partai Gerindra.

Karena itu, terasa sangat lucu ketika tiba-tiba ada vonis kepada saya sebagai “orang yang tidak loyal” terhadap Prabowo Subianto dan Gerindra. Saya merasa ada yang salah dengan kalimat “loyal” di situ. Saya justru berpandangan, loyalitas harus dilandaskan pada sesuatu yang lebih prinsipil, seperti cita-cita, ide dan gagasan. Seperti sering disampaikan oleh Prabowo Subianto sendiri, loyalitasnya adalah kepada merah putih –sebagai gagasan—bukan kepada rezim berkuasa.

Jika kita loyal terhadap rezim, maka bisa saja terjadi penyelewenangan. Apalagi kita semua tahu, power tend to corrupt, kekuasaan cenderung korup atau disalahgunakan. Banyak penguasa tampil dengan cita-cita mulia, akan tetapi setelah duduk bukan cita-cita mulianya yang mengarahkan jalannya kekuasaan yang telah diraihnya, tetapi ambisi kekuasaan yang disulut oleh bumbu para pembisiknya itulah yang menentukan. Tetapi jika kita setia kepada cita-cita, ide, dan gagasan, maka kita akan senantiasa berada pada jalan yang benar.

sumber: https://www.facebook.com/notes/fami-fachrudin/pemimpin-harapan-bangsa/10151080985513778

Cara Jokowi Membangun Kepercayaan by Rhenald Kasali (@Rhenald Kasali)


KOMPAS.com — Tak dapat dimungkiri, perubahan lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Dari ketika dijalankan, Anda bukan hanya berhadapan dengan kaum resisten, melainkan juga mereka yang bakal kalah pamor.

Ya, kalau Anda gigih dan berhasil menaklukkan resistensi, maka akan ada kelompok-kelompok lain yang menjadi terlihat “tidak bekerja”, “asal bunyi”, atau “provokator”. Seperti kata George Carlin, mereka menggenggam ayat yang bunyinya begini, “Jika engkau tak bisa menaklukkannya, buatlah orang lain membencinya.” Mereka berkampanye agar tidak percaya pada apa yang mereka lihat.

Jadi inti dari perubahan sebenarnya: Mendapatkan kepercayaan. Obat resistensi itu, pertama-tama, adalah kepercayaan. Jujur dan berani adalah satu hal. Tetapi, ini tidak cukup bila pemimpin gagal memberikan hope melalui kemenangan-kemenangan kecil pada tahun pertamanya. Diperlukan pendekatan khusus untuk mendapatkan kepercayaan. Sebab, provokator juga hanya "mati" di tangan mereka yang sangat dipercaya publik.

Mengubah resistensi itu sendiri ibarat membuka hati manusia yang terluka. Kita tak bisa “menjebol batin” mereka yang terluka untuk membersihkan nanah-nanahnya, kecuali mereka mengizinkannya. Nah, "minta izin membuka hati" ini ada caranya: terlalu lembut tidak tembus, kekerasan hanya membuat mereka jatuh ke tangan para penyamun.

Demikian juga dalam merespons para penyamun yang menghalangi perubahan, selalu ada psikologinya. Nan S Russel, dalam Psychology Today (2012), memberikan tipsnya: tetap respek, hindari komunikasi membalas dengan menyalahkan, sadar diri, jauhkan arogansi, jaga kehormatan dan go beyond yourself (utamakan kontribusi pada publik).

Diplomasi makan malam

Jauh sebelum Jokowi memimpin Jakarta, saya pernah diberitahu pendekatan yang digunakan masyarakat Tionghoa dalam mengatasi berbagai masalah. Semua urusan bisa diselesaikan di meja makan. Dan kalau perut sudah disentuh, hati manusia akan adem. Tetapi, di Tokyo, ternyata juga sama. Bahkan, pekerja-pekerja Jepang hingga larut malam masih menjinjing tas kerja dan jas hitamnya bersama atasan mereka di bar-bar di sepanjang daerah Ginza atau Shinjuku. Dalam ocehan yang terucap, mereka mengatakan, “Kita menanggung sama-sama.”

Saat diserang calo tanah dan warga yang tak mau pindah ke rumah susun yang telah disediakan (dari area waduk Ria-Rio), kita membaca, Jokowi ternyata juga melakukan cara yang sama. Prosesnya begitu cepat. Bahkan jauh lebih cepat dari yang ia lakukan di Solo saat memindahkan PKL dari tengah kota.


“Saat itu saya ajak PKL makan siang dan makan malam 54 kali,” ujarnya. “Setelah itu baru saya sampaikan bahwa mereka akan dipindah. Dan mereka diam semua. Saya katakan, kalau begitu setuju ya... dan mereka menjawab, 'Iya, Pak...'."
Ia memberikan refleksinya sebagai berikut:

Pertama, PKL adalah businessman, sama seperti yang lainnya. Mereka itu pasti berhitung untung ruginya.

Kedua, pada awalnya, setiap diundang makan malam ke Balaikota mereka tahu bahwa mereka akan digusur, karena itulah mereka datang dengan LSM dan advokat-advokat. "Karena itu, saya tak bicara apa-apa, saya hanya mengajak mereka makan malam meski mereka kecewa tak ada omong-omong," ujarnya.

Ketiga, mereka khawatir, di lokasi baru bisnis mereka akan rugi atau diperlakukan tidak adil.
Di Jakarta, saat menghadapi warga-warga yang tinggal di bawah waduk Ria Rio, Jokowi mengatakan, “Saya tak ingin berhadap-hadapan dengan rakyat, rakyat tak boleh ditindas.” Itu sebabnya, ia memilih melayani mereka di meja makan, dan mereka pulang dengan enteng. Jokowi benar, jika perubahan membutuhkan koalisi perubahan, maka berkoalisilah dengan rakyat.

Diplomasi Sentuhan 
Blusukan adalah satu hal, tetapi di balik branding Jokowi itu ada diplomasi sentuhan yang luput dari perhatian para elite. Jangan lupa setelah Gen C (connected generation), kita tengah menghadapi Gen T (touch generation).

Bila mesin saja baru terlihat smart kalau disentuh, apalagi hati manusia. Rakyat yang selalu menjadi korban dalam perubahan, merindukan pemimpin-pemimpin yang tak berjarak, yang bisa mereka sentuh. Saya ingin menceritakan kejadian ini.

Suatu ketika Fadel Muhammad bercerita saat ia menemani kandidat cagub DKI dari Partai Golkar yang datang ke sebuah masjid di daerah Kwitang dengan kawalan voorijder. Pedagang di jalan harus minggir, dan cagub tersebut bertemu Habib sebentar, lalu pergi. Setelah itu datanglah cagub incumbent. Kali ini bukan hanya voorijder, melainkan juga camat, lurah, dan hansip sehingga semua PKL tak bisa berjualan. Jalan raya tiba-tiba berubah menjadi lengang dan benar-benar bersih.

Lantas bagaimana saat Jokowi datang? Ia datang tanpa pengawal, menyalami pedagang dan peziarah di sepanjang jalan sehingga agak lama baru sampai di pelataran masjid. Peziarah terkesima karena Jokowi sama seperti mereka, berpakaian seperti rakyat biasa, tak berjarak. Pemimpin yang tak berjarak menyentuh tangan dan pundak rakyatnya, sedangkan pemimpin yang berjarak justru menghindarinya. Bagi mereka, blusukan hanyalah pencitraan, bukan sentuhan hati. Padahal, di situ ada pertautan kepercayaan.

Jadi, kepercayaanlah dasar dari setiap karya perubahan. Dan, pemimpin yang pandai akan memisahkan ilalang dari padi-padi yang harus dipelihara agar menghasilkan buah. Inilah tugas penting para pembuat perubahan di tengah-tengah low trust atau bahkan a distrust society.
Maka, daripada menjegal Jokowi, mengapa tidak bergabung saja dan salami dia sebagai role model. Kalau Anda cinta perubahan, orang-orang seperti ini justru harus diberi apresiasi. Seperti kata Jim Henson, "If you can not beat them, joint them."

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2013/10/28/1122576/Cara.Jokowi.Membangun.Kepercayaan

Tuesday, April 01, 2014

Kenangan Masa Lalu: berpolitik.com Menjawab

Saya temukan tulisan ini di internet, tersimpan rapih di: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/08/07/0011.html

[INDONESIA-VIEWS] BERPOLITIK.COM Menjawab

From: apakabar@saltmine.radix.net
Date: Mon Aug 07 2000 - 17:23:26 EDT

From: "Fami Fachrudin" <fami@berpolitik.com>
To: <miriamabd@yahoo.com>
Cc: <apakabar@radix.net>
Subject: Berpolitik.com Menjawab
Date: Mon, 7 Aug 2000 08:31:39 +0700
Organization: PT Jaring Jagat Jimbar


Salam,

Yth. Ibu Miriam Abdullah
(Maaf kalau keliru)


Menanggapi tulisan Ibu mengenai berpolitik.com bersama ini saya, selaku
Pemimpin Umum media berpolitik.com, menyampaikan hal-hal yang telah Ibu
sampaikan ke milis Apakabar sebagai berikut:


1. Berpolitik.com bukan MILIS tetapi media berita dan analisa politik.
Perlu kami sampaikan, berpolitik.com dibuat dan didesain oleh Fami
Fachrudin (sekarang PU berpolitik.com) dan Reza Anwar (kami berdua lulusan
the University of Arizona, satu kampus satu jurusan) sebagai realisasi
dari cita-cita kami untuk mewujudkan media berita dengan paradigma baru
jurnalisme: open source journalism. Dalam paradigma baru ini, berita tidak
dimonopoli oleh wartawan, apalagi pemodal bisnis media.


2. Tidak benar berpolitik.com dibiayai oleh Habibie dan Setiawan Djody
melalui anaknya. Untuk menjalankan gagasan kami itu, kami mengajak orang
yang dapat mempercayai kami untuk bersedia mengeluarkan modal guna
pengembangan berpolitik.com --tentu saja ini proses alamiah, modal akan
diberikan kepada orang yang dipercayainya. Pemodal itu bukan lah dari
pihak Habibie juga bukan dari pihak Setiawan Djody. Kami berdua (Fami dan
Reza) waktu itu, dalam memilih pemodal tidak melihat siapa orang tua dan
keluarga pemodal. Yang kami lihat, ia bersedia mengeluarkan modalnya untuk
pengembangan sebuah sit us yang akan mengembangkan model jurnalisme
terbuka dan dia bersedia untuk tidak mencampuri urusan redaksi. Bahwa dari
para pemodal itu ada hubungan saudara --bahkan ada hubungan darah dengan
FOUNDING FATHER dan PROKLAMATOR bangsa-negara Indonesia-- kami tidak
mempersoalkan selagi terbukti ia dengan setia tidak pernah mencampuri
urusan redaksi. Dan hingga kini mereka masih disiplin untuk tidak
mencampuri urusan redaksi.


3. Berpolitik.com tidak terlibat dengan IPS. Keterlibatan Sdr. Ahmad
Muzani sebagai Pemimpin Redaksi tidak terkait dengan IPS maupun Fadli Zon.
Bahwa Ahmad Muzani berteman dengan Fadli Zon, ada dan banyak Pemred media
lainnya (salah satunya media paling top di negeri ini), yang juga berteman
dengan Fadli Zon. Dan perlu Anda ketahui, Sdr Ahmad Muzani juga berkawan
dengan Bp H Suryopratomo, Pemred Kompas sekarang ini. Pemilihan kami
terhadap Ahmad Muzani lebih karena kesediaan. Sebagai media baru yang
belum jelas masa depannya waktu berpolitik.com d idirikan, tidak banyak
wartawan yang bersedia gambling berkarir di berpolitik.com. Ahmad Muzani
adalah orang yang bersedia untuk gambling dan bergabung dengan
berpolitik.com.


4. Berpolitik.com sahabat AJI. Kami tidak berperang (mission
dissinformation) melawan AJI. Wakil Pemred kami, M Thoriq, adalah salah
satu penandatangan Deklarasi Sirnagalih, deklarasi pendirian AJI. Redaktur
kami, Sdr Shodiqin Nursa, saat ini adalah Pemred Reporter Jakarta (dwi
mingguan) yang diterbitkan oleh AJI Jakarta.


5. Berpolitik.com didukung wartawan dari berbagai kalangan. Wartawan kami
berasal dari berbagai latar belakang, baik dari kalangan aktifis Islam
(modernis-tradisional) hingga aktifis PRD. Semua itu untuk menjaga balance
di dalam diri kami sendiri.
 
6. Kami sangat menyesali sikap Ibu yang percaya hanya dari sumber satu
pihak saja. Kenapa bisa mempercayai sebuah informasi tanpa ada cross check
terlebih dulu?


7. Kami berharap, usaha-usaha disinformasi terhadap berpolitik.com seperti
yang Ibu lakukan bisa dihentikan --juga oleh kalangan lainnya. Marilah
kita mengembangkan jurnalisme yang lebih jujur dan terbuka, sebagai bagian
dari cita-cita untuk mewujudkan In donesia Baru yang lebih demokratis.


8. Sebagaimana doa Ibu, saya JUGA yakin dan percaya Allah swt akan
menuntun kita untuk melihat kebenaranNya dan untuk mempraktekkan amal
ditengah-tengah umat manusia di dunia ini.


Salam,
-Fami Fachrudin

>Date: Fri, 4 Aug 2000 11:44:16 -0700 (PDT)
From: miriam abdulah <miriamabd@yahoo.com>
Subject: PREJUDICENYA MILIS DUNIA ISLAM
To: apakabar@Radix.Net

HATI-HATI DENGAN PREJUDICENYA DUNIA ISLAM

 ...

----- End of forwarded message from Fami Fachrudin -----


Rahasia di Balik Polling SMS TV One dan Metro TV

Tulisan ini diambil dari blog Dwiki Setiawan.

***

Di milis Kahmi Pro Network, rekan saya Fami Fachrudin yang mantan caleg DPR-RI dari Partai Gerindra, menulis catatan ringan mengenai kegiatan polling short message servive (sms) saat berlangsung acara Debat Capres dan Cawapres beberapa waktu lalu.

Dari penuturannya, barulah saya tahu, “Oh begini tho ‘pertempuran’ yang terjadi dibalik kegiatan polling sms untuk saling dongkrak-mendongkrak perolehan hasil akhir yang selama ini tidak diketahui publik.”

Rekan Fami Fachrudin ini pendapatnya saya kutip lengkap untuk tulisan ini, karena dia punya kapasitas untuk bicara soal polling sms dimaksud. Saat ini ia Presiden Direktur PT ASMINDO. Sebuah perusahaan berkantor di Jakarta yang bergerak di bidang content provider, telekomunikasi dan teknologi informasi. Pembaca yang ingin tahu banyak soal sosok satu ini, silakan klik situsnya di http://www.masfami.com.

Di milis tersebut, Fami yang asli Bumiayu Jawa Tengah itu menuturkan bahwa ia menggunakan SMSCaster untuk ‘membom’ empat digit nomor tujuan pengiriman sms. Program SMSCaster ini, katanya pula bisa dicari di internet lewat Mesin Pencari Google.

Berikut catatan Fami Fachrudin mengenai sepak terjang dibalik kegiatan Polling SMS Debat Capres dan Cawapres selengkapnya:

Karena debat capres-cawapres sudah usai, mungkin perlu sedikit diungkap secara singkat bagaimana kegiatan polling di TV One dan Metro TV.

Saya sedih dan geli, ketika para pakar dan juru bicara Tim Kampanye Nasional dengan “serius” membahas hasil polling tersebut, termasuk our newly crowned as professor yang pada debat cawapres ke-1 jadi komentator di Metro TV. Padahal, bersama Ami Geis, Dian, dan Tatat di OhLaLa (belakangan datang Medrial, Hamid, dan IJP) saya kirim ribuan sms dari laptop saya untuk menyodok suara dukungan sms utk Prabowo hingga 32%. Saya geli saat pengamat kita membahas hasil polling tersebut dengan segala argumennya.

***

Saat debat capres pertama usai, paginya Mega-Prabowo Media Center membahas soal perolehan suara Mega pada polling sms kedua TV tersebut yang sangat rendah. Mereka mengeluh karena kesulitan mengirimkan sms dukungan ke 3030 (TV One) maupun 6876 (Metro TV).

Sebagai orang yang menggeluti bisnis content provider, saya mengerti betul bagaimana teknis yang ada di belakang mesin 3030 dan 6876 bekerja. Lalu saya sampaikan kepada kawan-kawan (di Tim Sukses Mega-Prabowo), sediakan saya pulsa senilai 10 juta rupiah, saya akan bekerja menaikkan angkanya.

Singkat kata, seusai debat cawapres 1, suara Prabowo di Metro TV mencapai 32, Boediono 45, dan Wiranto 20. Itu berkat 2 buah modem dan pulsa senilai Rp 10 juta.

Mungkin merasa kecolongan (Boediono di bawah 50%), pada debat capres ke-2, atau seri debat ke-3 dari serial debat itu, pengiriman memakai modem dipersulit. Puji Tuhan, ada orang Metro TV yang teledor kirim sms ke nomor yang dipakai untuk “menggempur” berbunyi:
“Tolong jangan jadi spammers –Metro TV“.

I got you! Rupanya aliran sms yang masuk ke mesin 6876 ‘diplototin’ sama mereka sehingga nomor yang berkali-kali masuk bisa ketahuan. Sms itu adalah bukti bahwa aliran sms yang masuk “dikontrol” oleh mereka. Pikiran kotor saya berpendapat, mereka mau mengontrol agar suara SBY-Boediono tetap di atas 50%.

Ini jelas tidak fair. Pertama, sms yang saya kirim isinya sesuai dengan petunjuk. Kedua, jumlah sms yg saya kirim tidak melanggar aturan karena presenter bilang: kirim sebanyak-banyaknya !

Malam itu hasilnya mengecewakan. Paginya Media Center mengadakan jumpa pers untuk sedikit menyentil praktek tersebut.

Pada seri ke-4 atau debat cawapres ke-2, saya sediakan 5 modem dan pulsa senilai 3p 20 juta. Hasilnya, suara Prabowo di TV One merangsek hingga 36% (Boediono 48). Hanya di Metro TV yang saya dapati masih “dipermainkan”. Sejak pukul 18.00 hingga 21.00 wib, seluruh sms berisi “Cawapres 1″ yg dikirim ke 6876 mental dan dapat jawaban “layanan tidak tersedia”. Anehnya, jam 21.00 Metro TV tetap mengumumkan hasil pollingnya.

Seri debat terakhir saya pulang kampung jadi tidak ikutan polling. Hasilnya Mega mendapat 14% di TV One dan 9% di Metro TV.

Tahukah Saudara bagamana SBY-Boediono menangani polling ini? Mereka membayar sebuah perusahaan content provider (namanya saya rahasiakan) dan menyiapkan seluruhnya 50 modem.

*****
http://dwikisetiyawan.wordpress.com/2009/07/04/rahasia-di-balik-polling-sms-tv-one-dan-metro-tv/

Monday, March 17, 2014

Ketika Junino Hendak “Dipalak” Anggota DPR


Seiring dengan dimulainya kampanye terbuka Pemilu Legislatif 2014, redaksi sengaja menghadirkan sepak terjang "tidak terhormat" wakil rakyat sebagai pengingat bagi para pemilih agar lebih hati-hati memilih wakilnya dan bagi para caleg agar lebih amanah menjalankan tugasnya bila kelak terpilih.

Korupsi kadang menghadirkan kisah lucu sekaligus menusuk kalbu, dilakukan oleh orang-orang yang dipercaya rakyat, yang semula diharapkan bisa memperjuangkan nasib bangsa. Kali ini Redaksi ILUNI Online mengajak pembaca menyimak bagaimana para Anggota DPR RI berusaha “memeras” Junino Jahja, alumnus UI yang ketika itu menjabat Direktur Utama Perum Peruri.

Junino Jahja dikenal sebagai mantan aktivis militan yang pernah jadi ‘tahanan kampus’ dan nyaris dipecat sebagai mahasiswa UI karena dinilai sebagai otak ‘provokator’ demo besar-besaran menolak NKK/BKK. Meskipun kuliahnya sempat molor, setelah lulus kuliah, pria yang akrab disapa Nino ini memiliki karir profesional yang cermerlang hingga sempat menduduki jabatan Direktur PT Indosat. Meskipun bekerja di BUMN, militansinya sebagai aktivis tidak pernah pudar. Sejak awal gejolak gerakan Reformasi 1998, Nino aktif mendukung mahasiswa UI mendobrak kebekuan politik Orde Baru.

Tahun 2004, Nino meninggalkan Indosat dan malah terjun ke “zona berbahaya” ketika dirinya dipercaya sebagai Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi anti rasuah yang baru berdiri ketika itu dan harus berhadapan dengan para koruptor baik petinggi negara maupun konglomerat.

Setelah mengabdi di KPK, Junino diminta menjadi Direktur Utama Perum Peruri. Dari sinilah berawal kisah “lucu” yang membuat geram dari tingkah polah anggota DPR RI. Untuk lebih lengkap, mari kita simak hasil liputan Majalah GATRA edisi 19/01, terbit Kamis 8 Nopember 2012:

Ponsel Junino Jahja berdering. Setelah diangkat, dari seberang, si penelepon menyampaikan pesan sederhana: meminta kesediannya hadir dalam pertemuan dengan beberapa anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Mata Uang yang sedang digodok di Komisi XI DPR. Saat itu, hari Senin 21 Maret 2011. Junino adalah Direktur Utama (Dirut) Perum Percetakan Uang RI (Peruri) ketika itu. Sejak 31 Oktober 2012, ia tidak lagi menjadi dirut.

Junino diajak makan malam di Restoran Poke Sushi, Hotel Crowne Plaza, Jakarta. Junino mengiyakan ajakan itu. Pada saat makan malam, ia ditemani Slamet Haryono, Sekretaris Perusahaan Peruri. Menjelang senja, ia telah menunggu di tempat yang sudah diatur. Pukul tujuh malam, datanglah lima anggota pansus. Mereka adalah Achsanul Qosasi (Partai Demokrat), Mustofa Assegaf (Partai Persatuan Pembangunan), Edison Betaubun (Partai Golkar), I Gusti Agung Rai Wirajaya (PDI Perjuangan), dan Muhammad Hatta (Partai Amanat Nasional).

Sembari menunggu pesanan disajikan, tim pansus mengutarakan ihwal masih adanya dua pasal dalam RUU itu yang belum disepakati. Yaitu pasal yang berkaitan dengan kewenangan mencetak uang dan membeli kertas. Tim pansus menjelaskan, ada kemungkinan pansus menyetujui wewenang mencetak dan membeli kertas jatuh pada Peruri. Selama ini, kewenangan Peruri hanyalah mencetak. Sedangkan hak membeli kertas dan mengedarkan uang hasil cetakan Peruri ada pada Bank Indonesia (BI).

Obrolan itu, menurut Junino, kemudian berputar-putar tanpa arah yang jelas. Ia menjadi jengah. "Saya berterima kasih kalau begitu, tetapi maksud kongkretnya apa, ya?" tanya Junino. "Kalau pasal ini diloloskan, Peruri yang untung. Ya, share keuntungan dengan kamilah," jawab salah satu anggota tim pansus, seperti ditirukan Junino.

Junino berkilah tidak memiliki dana untuk itu. Seorang di antara mereka menyarankan Peruri meminta duit ke supplier-nya untuk menalangi pembayaran kepada tim pansus itu. Tarik-menarik permintaan upeti ini berakhir saat Mustofa Assegaf, yang tidak begitu mengenal Junino, bertanya. "Sebelum di Peruri, Anda di mana?" Tanpa pikir panjang, Junino menjawab, "Saya sebelumnya Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Pak."

Pembicaraan mengenai dua pasal di RUU Mata Uang itu pun terhenti seketika. Achsanul yang pertama meminta izin keluar dari ruangan dengan dalih ada panggilan telepon masuk. Edison dan Mustofa menyusul keluar. Alasannya, ditunggu orang lain di tempat lain. Tinggal Gusti Agung dan Hatta, yang mau tidak mau menemani Junino makan malam karena pesanan keburu diantarkan.

Yang tidak diketahui anggota tim pansus itu, pembicaraan mereka sedari awal direkam oleh KPK. Namun, karena belum sampai menyebut harga dan belum terjadi tindak pemerasan, persoalan ini tidak sampai bergulir ke muka hukum.

Tim Pansus RUU Mata Uang menampik tudingan adanya upaya memperdagangkan pasal ke Peruri itu. "Nggak ada gitu-gituan," kata Achsanul kepada GATRA. "Mau ngapain kami cari-cari uang begitu. Ini kan menjelekkan nama baik kami. Apalagi menjelang pemilu seperti ini. Mereka mencoba menjatuhkan kami aja," ia menambahkan.

Meski begitu, Achsanul membenarkan adanya pertemuan dengan Junino di Hotel Crowne Plaza itu. Pertemuan itu, kata dia, hanya menanyakan kesiapan Peruri mencetak uang di dalam negeri sendiri. "Masak kita mencetak uang di Australia, di mana-mana. Makanya, kami tanya, mereka siap nggak mencetak di sini. Itu aja," katanya.

Selama Junino menjadi dirut BUMN, permintaan upeti dari pihak luar, baik itu anggota DPR, pemerintah daerah, supplier, maupun masyarakat, jamak terjadi. "Kalau DPR, umumnya datang sendiri meminta sumbangan untuk dibagikan ke daerah asal pemilihan mereka," kata Junino kepada Fitri Kumalasari dari GATRA. "Atau membawa supplier agar dimenangkan dalam proses tender proyek Peruri," katanya. Mereka yang datang biasanya dari Komisi VI yang membidangi BUMN.

Junino menyarankan kepada direksi BUMN agar tak takut menghadapi upaya pemalakan itu. "Kalau mau ketemu, ya, temui saja. Kalau merasa ada ancaman, lapor ke aparat penegak hukum seperti KPK, polisi, atau kejaksaan," ujarnya.

Sumber tulisan: http://iluni.net/berita/165-ketika-junino-hendak-dipalak-anggota-dpr



Deklarasi untuk Indonesia | Oleh: Jaleswari Pramodhawardani

KOMPAS.com - SEMUA pertanyaan dan spekulasi itu terjawab sudah. Tanpa perayaan, jauh dari hiruk-pikuk simbol kepolitikan Jakarta, PDI Perjuangan mengumumkan Joko Widodo alias Jokowi sebagai calon presiden 2014.

Melalui perintah harian yang ditulis tangan oleh Megawati Soekarnoputri, yang disampaikan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, Jumat (14/3), Megawati selaku pemegang mandat melalui Kongres III PDI-P 2010 untuk memilih capres partainya menyerahkan kembali mandat tersebut kepada rakyat Indonesia untuk memastikan Jokowi menjadi presiden RI melalui Pemilu 2014. Walaupun sudah diduga sebelumnya, pernyataan ini tetap jadi kejutan politik, setidaknya bagi kubu lawan yang masih berharap Megawati diajukan menjadi capres. Bukan untuk mendukung, melainkan menyisakan harapan bagi kemenangan mereka.

Selain itu, di luar dugaan orang, cara deklarasi capres ini dilakukan dengan tidak menggunakan cara-cara konvensional. Ketika banyak partai tampil dengan banyak warna, penuh gambar, penuh gaya, dan kebesarannya, PDI-P justru sebaliknya. Ia tampil dengan dominasi warna putih, simbol Jokowi, yang memancarkan kemurnian dan daya tarik universal. PDI-P mengesankan tidak sedang menawarkan apa pun atau tidak sedang berupaya menjejali publik dengan kemegahan kampanye deklarasi.

Pilihan untuk sederhana, tak mengandalkan media utama—dan menabrak kaidah-kaidah marketing dan advertising sekaligus—menjadikan kesederhanaan sebagai sesuatu yang hebat dan bermanfaat bagi banyak orang. Hal ini terbukti dengan ajakan mereka untuk mengunduh, menggunakan, dan memanfaatkan simbol-simbol Jokowi melalui lamannya untuk disebarluaskan. Kesukarelaan dan kegotongroyongan ingin didorongkan di sini. Bahkan, ketika deklarasi capres tersebut dibacakan, Jokowi menerima mandat tersebut ketika blusukan di daerah Marunda saat di Masjid Si Pitung.

Menyelami politik Megawati

Jika mencermati isi pidato ataupun pernyataan politik Megawati selama ini, ia memiliki sikap politik yang jelas sejak awal. Ia telah melewati hamparan sejarah panjang, melewati fase-fase kritis pergulatan Indonesia sebagai bangsa dan PDI-P sebagai kekuatan politik. Bersama PDI-P yang ia pimpin, Mega telah mengalami evolusi, penajaman dan kontekstualisasi dari gagasan dasar Bung Karno mengenai nasionalisme kerakyatan, pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dan Tri-Sakti. Jalan ideologis yang dipilih partainya sebagai hasil pergulatan politiknya selama ini.

Namun, di sisi lain harus diakui, sungguh tak mudah jadi pemimpin perempuan di tengah mayoritas budaya masyarakat patriarkis dan feodalisme yang belum sepenuhnya luntur dari kultur Indonesia. Kedua hal ini sering memberikan stigmatisasi terhadap keputusan dan gaya politiknya yang dianggap tidak sesuai dengan arus utama selama ini.

Melalui deklarasi ini pula memperlihatkan banyak pihak cabut lotre yang salah tentang dirinya. Tuduhan bahwa ia masih menginginkan jabatan presiden untuk dirinya sendiri tak terbukti. Prasangka bahwa ia menyiapkan penggantinya berdasarkan ”darah biru” trah Soekarno, sebagai bagian dari politik dinasti, terpatahkan sudah. Megawati bukan tidak tahu kritikan pedas yang ditujukan kepadanya. Partainya kerap dituduh beraroma feodalisme yang hanya menyandarkan suara pada fanatisme pemilihnya dan hubungan darah Soekarno. Di beberapa forum, ia bahkan bertanya balik: apa yang salah dengan politik dinasti? Mengapa fanatisme pemilih dianggap buruk?

Ia mengatakan, tentu tak semua politik dinasti bu¬ruk. Beberapa di antaranya membangun keberlangsungan mereka pada me¬ri¬tok¬rasi dan dukungan rakyat yang nya¬ta. Di sisi lain Megawati juga paham ekses buruk dari politik dinasti, yaitu jebakan peluang untuk korupsi, kolusi dan ne¬po¬ti¬sme. Menurut Mega, kejahatan itulah yang perlu diwaspadai dan dicarikan mekanisme untuk pencegahannya.

Transformasi kepemimpinan

Deklarasi yang meloloskan Jokowi melenggang dalam Pilpres 2014 memunculkan interpretasi menarik. Pertama, inilah kemenangan politik Megawati sesungguhnya. Sejak Kongres III PDI-P 2010, Megawati senantiasa menyosialisasikan pentingnya menegaskan dan mengukuhkan kembali ideologi sebagai jalan perjuangan partai. Untuk menguatkan hal itu, Megawati dan PDI-P rela menapaki jalan sunyi sebagai partai politik oposisi satu dekade untuk konsolidasi dan mematangkan basis partai. Ia memiliki kesempatan untuk melakukan perekrutan dan kaderisasi partai di semua level.

Kedua, Jokowi merupakan representasi dari transformasi kepemimpinan baru, sekaligus memperlihatkan keberhasilan kaderisasi di tubuh partai. Ia diharapkan jadi pelopor kepemimpinan kaum muda, yang kuat dan teguh di tengah tantangan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan yang terus membengkak; di tengah-tengah frustrasi sosial masyarakat yang tak berdaya melihat masa depan yang lebih baik. Tantangan ini jelas tidak ringan. Ia perlu mengembangkan demokrasi matang yang mampu me¬m¬be¬ri arah kesejahteraan bagi rakyat. Karena itu, ia selalu menegaskan, unsur kepemimpinan sangat penting dimiliki seorang presiden. Menjadi presiden mudah, jadi pemimpin jauh lebih sulit.

Ketiga, melalui deklarasi ini Megawati membangun kepolitikan baru dengan menunjukkan bahwa parpol bertanggung jawab menghasilkan kader-kader terbaiknya mengelola bangsa dan negara ini. Partai tak bisa lagi berpangku tangan, tetapi ikut bertanggung jawab terhadap sepak terjang kader partainya. Karena itu, ideologi kerja menjadi bagian dari praktik keseharian pengelolaan partai dan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan negara. Hal itu merupakan wujud kerangka hubungan dinamis antara negara dan rakyat yang membuat penguatan partai menjadi agenda krusial dan sebuah keharusan.

Deklarasi capres PDI-P mungkin hanya langkah kecil dari perjalanan panjang Jokowi menuju RI-1. Tentu akan banyak pertanyaan yang diajukan publik kepadanya tentang komitmen dan kerja nyata untuk kebaikan bangsa ini. Yang jelas, Jokowi dan PDI-P tidak boleh gagal mencoba mempertahankan kepercayaan rakyat yang telah memilihnya. Jokowi akan dihadapkan pada tuntutan tentang pemerintahan baru, yang membutuhkan inovasi, imajinasi, kebijakan, dan visi baru mengelola bangsa dan negara ini.

Perjalanan 16 tahun reformasi membutuhkan sebuah kepemimpinan bukan sekadar keahlian diplomasi, dan satu-satunya tes yang valid dari kepemimpinan adalah kemampuan untuk memimpin, yaitu memimpin dengan penuh semangat dan tidak cepat berpuas diri dalam kerja nyata untuk rakyat. Singkatnya, Jokowi akan dihadapkan pada tantangan pembuktian kepemimpinan generasi baru untuk mengatasi masalah-masalah baru dan peluang baru. Jokowi tentu saja tidak sendiri. Di seluruh dunia, khususnya di negara-negara baru, banyak orang muda yang merengkuh puncak kekuasaan, yang tidak terikat oleh tradisi masa lalu, yaitu orang-orang yang tidak dibutakan oleh kekhawatiran dan membenci persaingan, orang muda yang dapat membuang slogan lama; delusi dan kecurigaan. Jokowi memang harus membuktikan bahwa pilihan dan mandat Megawati terhadapnya tepat.

Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI

Sumber tulisan:  
http://indonesiasatu.kompas.com/read/2014/03/15/1219105/Deklarasi.untuk.Indonesia

Analisa Pencapresan Jokowi dari Perspektif bukan Pendukung PDIP | oleh: Dwi Samudra

Sengaja saya tekan kata-kata “bukan pendukung PDIP” untuk menegaskan keinginan agar analisa ini tidak dipahami sebagai keberpihakan atau hujatan pada salah satu partai atau kandidat capres. Kajian sederhana ini adalah hasil diskusi dengan sebagian teman. Saya mencatat ada beberapa hal yang patut di simak.

LANGKAH PDIP

Pertama, strategi pemilihan waktu yang brilian. PDIP kembali menunjukkan kelas nya sebagai partai yang berpengalaman. Pemilihan waktu yang tepat, saat banjir DKI mereda, sedang kebakaran hutan di Riau, memberi keuntungan sendiri pada Jokowi. Meredakan hujatan karena sebab banjir. Plus, KPK sedang seru seru nya menelisik kader kader partai lain yang tersangkut berbagai kasus. Semua itu memberi ruang keuntungan pada pencapres an Jokowi.

Kedua, pencapresan Jokowi meruntuhkan citra, bahwa ketua partai adalah jenjang menuju capres. Megawati sukses menaikkan citra dirinya dan PDIP sebagai partai yang memberi kesempatan pada kadernya. Tidak ada lagi semacam citra keharusan trah Soekarno.

Ketiga, Jokowi adalah capres yang relatif termuda dibandingkan yang lain. Kembali, PDIP dengan cerdik menawarkan faktor pembeda dengan lainnya. Sementara yang lain nyamenawarkan stock lama daur ulang semua.

Keempat, PDIP sukses menjadikan tawanan bagi mereka yang bukan pendukung PDIP tetapi pendukung Jokowi. Barang siapa menginginkan Jokowi sebagai presiden, maka mau tidak mau harus memilih PDIP agar lolos presidential threshold.

Kelima, PDIP sadar penuh realita di lapangan. Banyak swing voter dan golput. Banyak yang kecewa pada parpol dan direpresentasikan dengan hujatan pada DPR. Realitanya, seperti kasus Risma, banyak yang lebih menyukai tokoh daripada partai. Maka PDIP menyajikan tokohnya, bukan partainya. Reaksi beberapa teman yang tadinya siap Golput kontan berubah: Sekarang saya punya pilihan, Jokowi!

SIAPA PENDUKUNG DAN PENGHUJAT JOKOWI?

Menarik disimak, bahwa pencapresan Jokowi disambut gembira dan juga disambut hujatan. Menurut saya, tidak bisa sesederhana itu hanya membuat 2 kategori: Pendukung dan Penghujat.

Pendukung Jokowi terdiri dari beberapa kategori: (a) pendukung PDIP, (b) murni pendukung Jokowi dan (c) “terpaksa” mendukung Jokowi. Pendukung Jokowi golongan (b) ini, terdiri dari mereka yang tinggal di Jakarta dan non Jakarta. Yang tinggal di daerah non Jakarta, biasanya mereka yang kecewa dengan kinerja pemerintah di daerahnya dan berharap mereka dapat imbas perbaikan pemerintahan kalau Jokowi jadi presiden.

Yang menarik pendukung golongan (c): Mereka sebenarnya bukan fans Jokowi, tetapi karena tidak ada pilihan yang lebih baik, maka mereka mendukung Jokowi. Lha, bagaimana lagi, masak harus pilih Rhoma Irama?

Penghujat Jokowi terdiri dari beberapa kategori (a) pendukung dari partai lain, (b) mereka yang memang tidak suka Jokowi, meski bukan pendukung partai manapun dan (c) mereka yang merasa patah hati dengan pencapresan Jokowi

Penghujat golongan (c) yang patah hati, adalah para pemilih Jokowi 2 tahun yang lalu. Mereka yang justru mengapresiasi kerja Jokowi sebagai gubernur dan berharap Jokowi bisa menuntaskan kerjanya. Dan sekarang mereka kecewa karena Jokowi dianggap tidak menuntaskan amanahnya.

BAGAIMANA STRATEGI CAPRES PARTAI LAIN ?

Mengumumkan capres sebelum pileg, sungguh suatu perjudian. Perolehan suara di legislatif bisa naik dan juga bisa turun. Hingga saat ini, belum semua partai mendeklarasikan capres nya, dengan berbagai alasan. Sebagai contoh, sebagian kader Golkar menyesali penetapan Ical karena diyakini akan menurunkan suara perolehan.

Demokrat, disayangkan tidak juga menetapkan hasil konvensi. Mungkin mereka masih yakin bahwa suara rakyat lebih condong ke partai, bukan ke tokoh. Tokoh tidak membawa gerbong suara saat pileg. Padahal, kalau saja mereka menyebut nama popular seperti DI dan Anies misalnya, maka suara akan terkatrol.

PKS, tetap saja berkutat dengan gaya akademik yang prosedural. Melalui Pemira, yang muncul malah nama nama yang kurang diapresiasi masyarakat. Seandainya mereka menyebut nama-nama populer di masyarakat seperti Ridwan Kamil sebagai yang dipertimbangkan sebagai capres, maka bukan mustahil akan membantu.

Setahu saya, hanya PKS, PPP dan Golkar yang nama partainya terpisah dari nama tokoh, meski akhirnya harus menelan kenyataan digerogoti oleh kelakuan tokohnya. Sisanya bisa dibilang bernama partainya Surya Paloh, partainya SBY, partainya Megawati dsb

SIAPA CAWAPRESNYA?

Menarik disimak, Mega tidak mengumumkan nama cawapresnya. Cerdik, tidak semua kartu langsung dikeluarkan. Sekaligus untuk menyiapkan rencana B. Seorang teman berpendapat, bahwa pertempuran capres selesai sudah, sedang pertempuran cawapres dimulai.

Tentu bukan mustahil, PDIP akan menyodorkan cawapre nya dari PDIP pula kalau mereka menang besar di pileg. Teman saya yang pendukung golongan (c) bilang, kembali kita jadi tawanan PDIP. Boleh tidak suka cawapresnya, tapi kalau pingin Jokowi jadi presiden ya mau gimana lagi, terpaksa tetap dipilih. Pendukung golongan (b) dan (c) ini berpendapat, bahwa PDIP tidak punya stock tokoh lain lagi yang pantas dijadikan cawapres.

Ada lagi yang berpendapat, alangkah baiknya kalau wapresnya dari partai lain, sehingga pemerintahan akan berjalan dengan baik. Dalihnya, presiden dan wapres akan didukung suara mayoritas karena berasal dari 2 partai besar.

Apabila dituruti prediksi di atas, maka timbul pertanyaan, siapa yang pantas jadi cawapresnya dan kapan saatnya mereka berkoalisi? Pendapat liar seorang teman, seumpama terjadi koalisi dengan Demokrat yang mengajukan DI, atau Golkar mengajukan JK atau Gerindra mengajukan Prabowo sebagai cawapres, maka pemilu sudah selesai hari ini.

KONKLUSI

Hulu dari segala kegalauan di atas, adalah kegagalan partai politik melahirkan para kader pemimpin. Stock pemimpin yang layak pilih semakin berkurang. Nama “Pemilu” pantas dipertanyakan, karena tidak memberikan para calon yang layak pilih. Ibarat mangga busuk satu keranjang, apanya yang akan dipilih?

Sebagian penghujat Jokowi, juga kesulitan untuk memberi alternatif siapa capres yang layak pilih. Publik semakin terperangah dengan ide-ide absurd seperti PKB mengusung Rhoma Irama, PPP mengusung Suryadharma Ali dst. Nama-nama yang kelihatan bersinar, justru mereka yang munculnya bukan dari partai politik, seperti Risma, Ridwan, Abraham Samad, Dahlan Iskan dll.